Atau, jika harus dieksekusi mati atas ancaman dan resiko yang mungkin akan kutimbulkan, saya mungkin akan meniru Danton tokoh revolusi Paris yang berpesan "tunjukkan kepalaku kepada orang ramai itu; Ada nilainya," sebelum dipancung.
Untuk  mengobati rasa sakit, saya cukup berusaha membayangkan suasana saat Engles pada pemakaman Marx yang berpidato "Pada 14 Maret pukul dua lebih-empat puluh lima menit-siang, seorang pemikir besar telah berhenti berpikir.Â
Saat itu dia baru saja dibaringkan, dan ketika kami kembali melihatnya dua menit kemudian, kami mendapati dia sedang tidur di kursinya dengan tenang ... untuk selamanya".
Hehe, tapi itu tidak perlu untukku. Dan saya bukan siapa-siapa untuk dikenang. "tok..tok..tok" pintu diketuk. "karantina hari ke enam belas" suara lembut ibu dari luar, memintaku keluar kamar, dan mengakhiri isolasi-isolasi ini. Jam menunjukkan pukul enam pagi, kali pertama saya menikmati kopi pagi di teras rumah setelah 16 hari terakhir.
"Ketakutan itu nyata. Ketakutan itu abadi", ucapku dalam hati  berulang-ulang, hingga matahari telah dua-tiga jengkal diatas pohon kelapa disamping rumah.
Di depan teras , seorang adik mungkin 5 tahun, berjalan. Menoleh ke arahku, diam sejenak, lalu oleh baju yang dikenakannya, ia menutup hidung dan mulutnya kemudian lari. Hehe selamat pagi, Dik!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H