Di tengah kesibukannya sebagai pendidik, Sulastri juga menjalankan peran penting sebagai seorang istri dan ibu. Pada tahun 2004, ia dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Yohana Sance Sabarina itu menjadi sumber kebahagiaan dan motivasi dalam hidupnya. Sebagai seorang ibu, Sulastri selalu berusaha menanamkan nilai-nilai pendidikan dan moral kepada putrinya. Ia ingin putrinya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, berempati, dan memiliki semangat belajar yang tinggi, seperti yang telah ia teladankan sepanjang hidupnya.
Mengurus keluarga sambil menjalankan tanggung jawab besar sebagai kepala sekolah bukanlah hal yang mudah. Namun, Sulastri berhasil menyeimbangkan keduanya dengan baik. Ia membuktikan bahwa seorang wanita dapat menjalankan berbagai peran dengan penuh tanggung jawab dan tetap memberikan kontribusi besar kepada masyarakat.
Meniti Karier Sebagai Guru
Setelah lulus, Sulastri mulai mengajar di SD Persatuan di Sukabumi, dengan gaji hanya sebesar Rp42.000 Â per bulan. Meski kecil, ia merasa bangga dapat mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Mengajar di lingkungan yang beragam, terutama dengan murid-murid yang sebagian besar berasal dari keluarga keturunan Tionghoa, membuka wawasan Sulastri tentang pentingnya keberagaman dalam pendidikan. Ia belajar menghargai perbedaan dan melihatnya sebagai kekuatan, bukan hambatan.
Pada tahun 1986, Sulastri memutuskan untuk mencari peluang yang lebih baik di Jakarta. Pindah ke ibu kota bukanlah langkah yang mudah. Ia harus meninggalkan kampung halamannya dan memulai segalanya dari awal. Namun, di Jakarta, peluangnya sebagai guru semakin luas. Ia bekerja di berbagai sekolah di kawasan Kelapa Gading dan Sunter, di mana ia mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar dan pengalaman berharga. Dengan kenaikan gaji menjadi Rp250.000 per bulan, Sulastri merasa semakin termotivasi untuk terus mengembangkan diri.
Di setiap sekolah tempat ia mengajar, Sulastri dikenal sebagai guru yang penuh semangat dan berdedikasi tinggi. Ia tidak hanya memberikan pelajaran akademik, tetapi juga membangun hubungan yang erat dengan murid-muridnya. Bagi Sulastri, menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hidup.
Langkah Besar Menjadi Kepala Sekolah
Karier Sulastri mencapai titik balik pada tahun 2001 ketika ia ditunjuk menjadi kepala sekolah di Lippo Cikarang. Jabatan ini memberinya tanggung jawab yang lebih besar, tetapi juga membuka peluang untuk mengimplementasikan visi pendidikan yang lebih luas. Sebagai kepala sekolah, Sulastri tidak hanya memimpin institusi, tetapi juga membimbing para guru, meningkatkan kurikulum, dan memastikan setiap siswa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Selama lebih dari dua dekade di Lippo Cikarang, Sulastri berhasil membawa sekolah tersebut menjadi salah satu lembaga pendidikan yang dihormati. Ia memimpin dengan hati, mengutamakan pendekatan humanis, dan selalu mendengarkan kebutuhan murid serta staf pengajar. Pengalaman panjang ini juga memperkenalkannya pada dunia manajemen pendidikan, sebuah bidang yang kemudian ia tekuni dengan penuh semangat.
Mendirikan Yayasan Meriba Mengubah Wujud Dedikasi pada Pendidikan
Pada tahun 2007, Sulastri mengambil langkah besar yang mengubah arah hidupnya dengan mendirikan Yayasan Meriba, yang kini dikenal sebagai SD dan TK Lestari. Bermodalkan dua rumah yang ia beli dari hasil kerja kerasnya, ia merintis yayasan tersebut sebagai upaya untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari berbagai latar belakang sosial. Keputusan ini dilandasi oleh keyakinannya bahwa pendidikan adalah hak setiap anak, tanpa memandang kondisi ekonomi keluarga atau status sosial mereka. Dengan visi yang jelas untuk menciptakan peluang yang setara bagi semua anak, Sulastri mulai merancang sebuah lembaga pendidikan yang tidak hanya mengutamakan akademik, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai moral dan sosial.