Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

5 Tips Orangtua Menghadapi Balita yang Suka Memukul

28 Februari 2024   16:52 Diperbarui: 1 Maret 2024   11:35 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat anak sedang marah atau tantrum, sering kali dijumpai anak meluapkan emosinya melalui tangisan dan teriakan, bahkan tindakan menendang, memukul atau melempar barang. Namun, tidak jarang pula anak yang tidak sedang tantrum memiliki kebiasaan tidak baik seperti suka memukul tanpa kontrol kepada siapapun.

Kebiasaan inilah yang apabila dibiarkan berlarut-larut akan menjadi sebuah definisi baru bagi anak. Mengingat di usia anak masih balita perkembangan emosionalnya belum seperti orang dewasa. Anak akan berpikir bahwa perilaku memukul adalah hal yang wajar.

Namun, akan menjadi sebuah persoalan baru manakala tindakan tersebut tidak segera ditangani dan diperbaiki oleh orangtua. Perilaku "suka" memukul merujuk pada kebiasaan anak yang patut disoroti penyebab dan pencetusnya.

Mengapa anak suka memukul?
Apa yang menyebabkan anak suka memukul?

Maka, sebaiknya orangtua mencari tahu penyebab perilaku anak yang tidak baik tersebut.

Pertama, bisa jadi anak melihat contoh orang lain atau teman bermainnya yang sedang memukul. Bahkan bisa saja bersumber dari orangtuanya sendiri. Maka, inilah pentingnya orangtua bukan sekadar menemani tetapi juga memantau gerak-gerik anak dan lingkungannya.

Selain itu, evaluasi dan instropeksi diri orangtua apakah selama ini keharmonisan di dalam keluarga terjalin dengan baik atau malahan sebaliknya. Ingat bahwa anak peniru ulung orangtuanya. Di usia anak yang masih belia, ia belum memiliki filter yang "sempurna" dalam menyerap apa yang ia lihat, alami, dan rasakan.

Kedua, ketahui jenis tontonan anak. Inilah pentingnya orangtua memantau apa isi dan esensi dari tontonan anak baik berupa video maupun permainan (game) selama screen time. Orangtua memastikan konten tontonan anak tidak mengandung unsur yang berisiko pada perilaku tidak baik anak.

Sebaiknya orangtua mengambil langkah tepat sebelum terlambat. Agar anak tidak terus menerus mencontoh adegan tidak baik dari yang ia tonton, misalnya adegan perkelahian meskipun berupa kartun animasi. 

Orangtua dapat mengganti dengan tontonan yang lebih edukatif serta mendampingi anak ketika screen time. Bahkan orangtua dapat meniadakan screen time baik melalui gawai maupun televisi dalam jangka waktu tertentu.

Bahaya screen time yang tidak terkontrol pada anak dapat membuatnya kecanduan atau adiksi terhadap gawai. Selain itu, sikap pasifnya berimbas terhadap kurangnya interaksi sosial anak sehingga mempengaruhi perkembangan emosional dan mental anak.

Ketiga, kemauan random (acak) anak oleh karena emosi yang masih labil. 

Di sinilah orangtua berperan penting dalam mengarahkan perilaku anak agar bisa membedakan mana perilaku yang benar dan salah. Bisa saja anak mendefinisikan bahwa memukul adalah tindakan atau "sebuah permainan" yang seru karena akan memberikan respon terhadap orang yang dia pukul.

Ada pula anak yang beranggapan bahwa tindakan memukul adalah bentuk dari kasih sayang.

Namanya juga anak-anak!

"Masalah anak yang memukul dialami oleh 5 dari 10 orangtua di Indonesia." Ayah Edy (Tokoh parenting)

Fase Egosentris Anak

Dikutip dari laman journal.trunojoyo.ac.id, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Anak Usia Dini, definisi berpikir egosentris adalah ketidakmampuan anak untuk melihat sudut pandang orang lain dalam melihat suatu masalah dan mementingkan perspektif dirinya sendiri.

Hal demikian mengonfirmasi bahwa pada anak usia dini (0-6 tahun) belum mampu keluar dari sudut pandangnya sendiri. Pada fase ini anak sedang senang bereksplorasi dan tentu sebaiknya dengan pendampingan yang optimal dari orangtua. Anak membutuhkan keamanan, kenyamanan, dan lingkungan yang sehat untuk mendukung tumbuh kembangnya.

Mengingat bahwa pada fase egosentris anak merasa dirinyalah yang paling benar dan paling penting dari segalanya. Fase ini berada pada rentang usia anak 0 hingga 5 tahun. Sedangkan saat anak mengijak usia 6 hingga 7 tahun, sikap egois tersebut diharapkan lambat laun akan mencair.

Sikap Bijak Orangtua

Oleh karena anak belum mengerti sepenuhnya konsekuensi yang akan ia terima jika memukul, maka tugas orangtua adalah meluruskan tindakan anak melalui sikap yang bijak.

Berikut penulis sampaikan 5 tips bijak bagi orangtua menghadapi anak balita yang suka memukul.

1. Menenangkan diri

Sebelum menentukan langkah selanjutnya, sebaiknya orangtua dalam kondisi pikiran dan hati yang tenang. Agar setiap ucapan dan tindakan berdasarkan pada upaya perbaikan yang logis, bukan karena dorongan emosional semata. Tidak lantas terpancing emosi manakala anak melakukan tindakan tidak menyenangkan.

2. Memberi peringatan kepada anak

Peringatan pertama, berupa teguran verbal kepada anak. Orangtua mengingatkan anak selama bermain bersama temannya atau bahkan selama di sekolah (misalnya PAUD) untuk menjaga sikap sopan santun terhadap guru beserta teman-temannya.

Peringatan kedua, apabila anak masih saja "suka memukul" maka mengingatkan melalui teguran dan tindakan berupa melerai dan menenangkan diri anak. Memisahkan anak balita Anda dari teman-temannya atau seseorang yang dia pukul.

Peringatan ketiga, jika masih berulang kembali di sesi atau waktu berikutnya maka beri tahu konsekuensinya. 

Ada kalanya anak belajar melalui apa yang dia alami sendiri seperti misalnya saat dia memukul temannya dan temannya balik memukul, maka anak akan belajar sebab-akibat dari suatu tindakan. Tentunya pada bagian ini senantiasa dalam pantauan orangtua atau pengasuh agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

3. "Menyingkirkan" pemicu dan pencetus

Misalnya menyimpan mainan yang anak lempar atau pukulkan terhadap temannya. Orangtua dapat mengalihkan perhatian anak agar sejenak "melupakan" tindakan suka memukulnya dengan menggantinya melalui aktivitas lain.

Begitu pula jika anak suka memukul karena akibat dari adiksi pada gawai, maka sapih gawai merupakan solusi yang tepat.

4. Menasihati anak melalui validasi perasaan

Saat anak sudah dalam kondisi tenang, validasi perasaan anak melalui beberapa pertanyaan dan pernyataan yang bisa menguak maksud dan keinginannya. Sesekali menguji anak untuk memukul dirinya sendiri atau orangtuanya agar ia merasakan dan mengerti bahwa perbuatan memukul itu menyebabkan rasa sakit bahkan meninggalkan bekas luka. Biarkan sejenak anak memahami apa yang barusan dia alami.

Validasi pula rasa sayang anak terhadap orangtua dan teman-temannya. Agar anak mengerti bahwa rasa sayang tidak diwujudkan dalam tindakan memukul. Tegaskan dan tekankan bahwa tindakan memukul adalah perilaku tidak baik.

Sampaikan nasihat orangtua menggunakan bahasa yang paling sederhana yang mudah dipahami oleh anak sesuai dengan usianya.

5. Mengajarkan anak meminta maaf

Sebagai upaya tidak terulang kembali serta anak benar-benar menyesali perbuatannya, maka orangtua sebaiknya mengajarkan anak belajar meminta maaf dengan tulus.

Leburkan kekesalan anak melalui tindakan meminta maaf secara serius. Sebagai contoh, gendong, gandeng, atau antarkan anak kepada temannya yang menangis karena dipukul untuk meminta maaf kepadanya dengan tulus.

*****

Sebuah kesalahan besar bagi orangtua yang menganggap perilaku suka memukul anaknya sebagai suatu hal yang lumrah. Tindakan memukul akan dianggap "wajar" bila dilakukan satu kali. 

Namun, jika frekuensi, intensitas, serta waktu yang relatif lama apabila dibiarkan akan membentuk perilaku agresif pada anak. Inilah persoalan yang sebaiknya segera diselesaikan.

Para orangtua tidak boleh serta merta melabeli anak balitanya "nakal" hanya karena tindakan yang sebenarnya tidak sepenuhnya keinginan anak. Penting kiranya orangtua mengetahui hal-hal yang sebaiknya dilakukan agar anak berperilaku baik.

Nasihati anak dengan penuh kasih agar masuk ke dalam akal atau pikiran dan hatinya. Di usia anak yang tergolong golden age (0-8 tahun), Psikolog Elly Risman menyatakan bahwa ini adalah fase yang sangat berpengaruh terhadap masa depannya. Gunakan frekuensi yang rendah ketika berkomunikasi dengan anak tapi tetap memperhatikan ketegasan.

Anak pada fase golden age semua fungsi organ dan syaraf pada otak berkembang secara pesat. Dengan demikian, orangtua sebaiknya memberikan stimulasi kepada anak dengan tepat agar tumbuh kembangnya optimal.

Senantiasa berkomitmen dan konsisten menjalankan peran sebagai orangtua dalam proses pengasuhan anak. Diiringi dengan doa agar anak di usia emasnya ini kelak akan tumbuh menjadi generasi yang berakhlak mulia.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun