Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analogi "Demokrasi Pasar Gelap" Indonesia

30 Maret 2022   17:17 Diperbarui: 30 Maret 2022   23:51 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setuju atau terpaksa, mendukung atau membangkang, percaya atau menyesal, setidaknya seluruh aspirasi politik warga bangsa ini, sudah dititipkan kepada 711 (Tujuhratus Sebelas) anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024.

Komposisi anggota MPR yang terdiri dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu, mewakili masa depan 273,87 juta berdasarkan data Dukcapil Kemedagri.

Demokrasi adalah sebuah sistem alternatif yang menjadi tatanan aktivitas masyarakat dan negara. Hampir semua negara menerapkan sistem demokrasi. Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, demos artinya rakyat dan cratos bermakna kekuasaan atau kedaulatan.

Sangat relevan untuk mengkritisi paham demokrasi yang dilontarkan Philippe C. Schmitter seorang ilmuwan politik Amerika yang mengkhususkan diri dalam politik komparatif, dan Terry Lynn Karl seorang Profesor Ilmu Politik yang juga mengkhususkan diri dalam politik komparatif di Departemen Ilmu Politik di Universitas Stanford.

Mereka berdua mendefinisikan Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka diwilayah publik oleh warganegara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih.

Memaknai penggalan kalimat ".... yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih ...." tersebut, tafsirnya bisa berarti dengan penerapan sistem politik representative bagi konstituen Parpol kepada politisi yang didukung.

Konsekwensi "sistem politik representative" telah memposisikan anggota MPR sebagai pemegang tiket masuk dan berhak menggunakan modal (uang saku) yang diperoleh dari konstituen untuk memainkan kartu dalam rumah judi.

Upaya membangun kesepakatan politik melalui lobby, negosiasi, koalisi, hingga memobilisasi antar anggota MPR dengan dugaan cara politik dagang sapi, atau memutuskan sebagai OPOSISI, secara politis bisa ditafsirkan dengan "analogi tiket masuk dan rumah perjudian".

Dugaan rekayasa politik soal klaim elite birokrat, pimpinan parpol, maupun anggota Legislative mengenai tingkat kepuasan kinerja Presiden Jokowi dengan wacana penundaan Pemilu hingga masa jabatan Presiden 3 (tiga) periode, adalah "analogi perjudian politis" yang tak terbantahkan.

Transaksional antar pimpinan partai menjelang hajatan pesta demokrasi tanpa ada mekanisme komunikasi politik dalam menjaring aspirasi, hingga memperoleh persetujuan konstituen, tafsirnya bisa dimaknai sebagai bentuk manipulasi kepercayaan politis konstituen Parpol.

Mengapa? karena semuanya dilakukan tanpa ada konsultasi konstituen berjenjang, tanpa ada pendidikan politik secara sistemik paska hajatan Pemilu, tanpa ada kaderisasi secara gradual-masif, tetapi mereka dengan leluasa bertindak sepihak.

Konstituen Parpol "seolah seperti anak ayam kehilangan induk". Tanpa ada arahan dan perhatian serta penjelasan soal situasi politik untuk bertindak mengawal dan mengkritisi prilaku dan kinerja elite birokrat sebagai Eksekutif pelaksana pemerintahan yang sah.

Fenomena mekanisme politik antara konstituen dengan kinerja Parpol yang dibangun secara konvesional ini, seakan relevan dengan "analogi praktik demokrasi pasar gelap". Parpol berdalih politik representative berhak melakukan apa saja demi perebutan kekuasaan.

Pasar gelap adalah kegiatan ekonomi yang terjadi di luar area yang disetujui pemerintah. Transaksi dilakukan "dibawah meja" untuk menghindari kontrol harga atau pajak pemerintah.

Sedangkan barang dan jasa yang ditawarkan dalam pasar gelap (pembelian/penjualan),  bisa illegal dilarang oleh hukum, atau bisa legal tetapi ditransaksikan untuk menghindari pajak.

Analogi menghindari pajak, tafsirnya sama dengan praktik kompromi politis Eksekutif-Legislative yang diwakili politisi Parpol, dengan mengabaikan mekanisme konsultasi public sesuai standar aturan untuk menghindari kemungkinan adanya penolakan dari konstituennya.

Untuk analogi dilarang pemerintah, tafsirnya sama dengan upaya memanipulasi aspirasi konstituen dengan mengabaikan etika komunikasi politik secara tidak etis, serta tidak konsisten sebagaimana janji politik para politisi Parpol saat berkampanye mencari dukungan suara.

Sedangkan analogi barang illegal, tafsirnya sama dengan upaya merasionalkan hingga meng-konstitusional-kan secara paksa wacana penundaan Pemilu, wacana masa jabatan Presiden 3 (tiga) periode, hingga putusan MK mengenai produk Undang Undang Cipta Kerja (UUCK).

Praktik ketatanegaraan dengan keberhasilan Jokowi, menteri kabinetnya dan patron Parpolnya yang mampu menggalang koalisi partai mayoritas di lembaga legislatif, memang terbukti bisa dan berhasil menciptakan "nada suara seragam para politisi dibawah dirijen satu komando".

Pembungkaman para aktivis yang menyuarakan catatan kritis hasil investigasi (kasus Haris-Fatia versus Luhut), maupun tindakan protes kebijakan pembangunan tanpa proses konsultasi publik secara layak (kasus Wadas), juga menjadi catatan kritis lainnya belakangan ini.

Fenomena praktik politik ketatanegaraan yang terjadi dan yang berlangsung saat ini, seakan menyerupai "praktik demokrasi terpimpin era Soekarno rezim Orde Lama". Penerapan sistem demokrasi berdasarkan selera Presiden ini, bisa ditafsirkan sebagai "praktik dari proses demokrasi pasar gelap".

Ketidakmampuan wakil rakyat menghadapi hegemoni kuasa Eksekutif atas mandat rakyat, adalah wujud dari kegagalan wakil rakyat (Legislatif) mencegah tindakan manipulatif Presiden  atas aspirasi politik konstituen Parpol yang disandarkan kepada para politisi anggota MPR.

Bahkan, representasi hasil dari praktik demokrasi pasar gelap ini, selanjutnya mendapat legitimasi politik melalui proses musyawarah maupun pemungutan suara (voting) karena kepiawaian lobby-negosiasi politik dari Presiden (eksekutif) dengan berbagai strategi dan cara pendekatannya.

Berdasarkan sejarah, bahwa paham Demokrasi Terpimpin dicetuskan Presiden Soekarno, setelah melalui 3 (tga) kali gagal mencapai kesepakatan, karena hasilnya tidak mencapai 2/3 bagian sebagaimana ketentuan pasal 137 UUDS 1950.

Demokrasi terpimpin berjalan berdasarkan Dekret Presiden Soekarno 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965. Paham demokrasi ini berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (sila ke-4 Pancasila).

Paham ini berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).

Meskipun, pada akhirnya Soekarno justru dinilai sedang menggali kubur kekuasaannya sendiri dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan, hingga dijatuhkan dalam sidang MPRS tahun 1966.

Saat Orde Baru lahir, paham Demokrasi Terpimpin mendapat penolakan keras. konsekwensi politik yang menimpa dan mewarnai perjalanan negara-bangsa era Soekarno, hingga Soeharto mengenalkan paham Demokrasi Pancasila sebagai solusi untuk menyelamatkan dan membangun kembali negara yang sedang terpuruk.

Suharto sebagai Presiden RI dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1967 menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya.

Lagi-lagi praktik demokrasi pasar gelap kembali terulang di era Orde Baru, tatkala lembaga MPR sebagai representasi rakyat pemegang saham terbesar demokrasi, tidak mampu mengimbangi kekuatan Presiden (Eksekutif) menjalankan mandate yang diberikan rakyat (konstituen Parpol).

Prinsip Demokrasi Pancasila memang ideal dalam tataran narasi, tetapi relative sama dengan praktik Demokrasi Terpimpin dalam praktiknya. Bukti sejarah yang tak terbantahkan dengan memposisikan Golkar menjadi Single Majority setelah berkolaborasi dengan fraksi ABRI.

Tidak ada kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berpendapat, depolitisasi civitas akademika, semuanya itu merupakan bukti sejarah lainnya. Bahkan, informasi resmi apapun, berada dibawah komando Departemen Penerangan sebagai corong tunggal yang legitimate.

Implikasinya dengan gerak-gerik pemerintahan Jokowi saat ini, nampak ada gejala untuk mengulang kejadian sejarah seperti masa kepemimpinan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. "Sejarah Ingin Membuktikan Bahwa Sejarah Bisa Dicipta atau Diulang".

Jika Soekarno menggunakan narasi dengan dalih "revolusi belum selesai", maka narasi yang dibangun era Jokowi menggunakan dalih "realisasi projek IKN, klaim dukungan rakyat dan Parpol, stabilitas ekonomi belum maksimal".

Seakan menyerupai paham yang didalilkan Demokrasi Pancasila era Soeharto yang terkenal dengan narasi "Era Tinggal Landas" sesuai program REPELITA rezim Orde Baru. Sedangkan dalil rezim Jokowi, menggunakan narasi "Realisasi Pemerataan Pembangunan dan Revitalisasi BUMN"  belum sempurna.

Benarkah praktik ketatanegaraan Indonesia selama ini sudah benar-benar menjalankan system dan prinsip demokrasi yang sejatinya?

Siapa yang harus menyuarakan dan melawan praktik pemanipulasian sistem demokrasi seolah-olah ini? atau dugaan praktik analogi demokrasi pasar gelap ini? Apakah memang sudah tidak ada lagi individu hingga kelompok tertentu yang peka dan kritis dengan situasi politik saat ini?

Prinsip-prinsip demokrasi ada 9 (Sembilan) yang harus terpenuhi, antara lain (1) Pengakuan hak asasi manusia, (2) Pemisahaan atau pembagian kekuasaan (trias politika), (3) Pemerintahan menurut hukum, (4) Jaminan hak individu secara konstitusional, termasuk prosedurnya.

Sedangkan prinsip selanjutnya (5) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memilih, (6) Pemilihan umum yang bebas dan kebersamaan politik, (7) Kebebasan mengemukakan pendapat, (8) Kebebasan berserikat dan berposisi, dan (9) Pendidikan politik dan kewarganegaraan (civil education).

Berdasarkan keseluruhan prinsip demokrasi di atas, ada satu prinsip yang "diduga ada unsur kesengajaan tidak dilakukan secara terstruktur, sistematif dan massif" oleh setiap Parpol, yaitu soal Pendidikan Politik Warga Negara (civil education).

Seharusnya, siapa yang paling relevan dan bertanggung jawab melakukan "Pendidikan Politik Warga Negara (Civil Education)" dalam negara penganut sistem demokrasi? Sampai kapan situasi dan kondisi "masa mengambang (Floating Mass)" dikonstruksikan tetap ada?

Kondisi mayoritas warga bangsa dalam posisi dan situasi masa mengambang (Floating Mass), akan memberi ruang dan dimanfaatkan elite birokrat sebagai representasi Eksekutif dalam system demoktasi melakukan praktik demokrasi pasar gelap.

Rakyat sebagai pemberi mandate atas kuasa dan kekuasaan yang dijalankan pemerintah, terbukti tidak mampu melakukan kontrol secara kritis, cerdas dan efektif, karena tidak mendapat pendidikan/pemahaman soal politik yang seharusnya dan yang sesungguhnya.

Tidak tersedia ruang dan mekanisme komunikasi politik yang bisa menampung aspirasi dan kritik paska hajatan pesta demokrasi Pemilu Legislatif, Pemilukada, dan Pemilu Presiden selama ini, setidaknya dugaan terjadinya perselingkuhan politik sangat dimungkinkan.

Proses dan mekanisme dugaan perselingkuhan politik antar elite Parpol, antar anggota Legislatif, antara elite Parpol dengan eksekutif (Presiden beserta Menteri Kabinetnya) melalui lobby dan negosiasi politik inilah yang bisa dianalogikan sebagai Praktik Demokrasi Pasar Gelap.

Butuh keberanian ekstra untuk melawan wanprestasi politik setiap Partai Politik atas tanggung jawab etisnya. Kedudukannya sebagai pemegang mandate aspirasi rakyat dalam sistem demokrasi, harusnya melakukan pendidikan politik secara terstruktur, sistematif dan massif kepada konstituennya.

Apabila pendidikan politik benar-benar dijalankan, tentunya konstituen Parpol akan bertindak dan mensikapi patron politiknya yang terbukti tidak amanah, bertindak manipulatif mengingkari hasil konsensus strategi kebijakan partai sesuai mandate yang diberikan.

Kritik dengan cara penyampaian pesan politis yang selayaknya disuarakan, adalah cara elegan menyelamatkan para elite Parpol, elite birokrat hingga Presiden sekalipun, agar tetap amanah menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sesuai koridor konstitusional.

Jika kecerdasan politik konstituen massa Parpol punya pengetahuan dan rasionalitas dalam melakukan kontrol dan kritik secara logis-konstruktif bisa terwujud, maka praktik "Analogi Demokrasi Pasar Gelap" tidak akan terjadi lagi di bumi pertiwi tercinta ini.  

Salam DEMOKRASI untuk KEADILAN SOSIAL menuju KEJAHTERAAN bersama, .......

Bahan bacaan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun