Bahkan, representasi hasil dari praktik demokrasi pasar gelap ini, selanjutnya mendapat legitimasi politik melalui proses musyawarah maupun pemungutan suara (voting) karena kepiawaian lobby-negosiasi politik dari Presiden (eksekutif) dengan berbagai strategi dan cara pendekatannya.
Berdasarkan sejarah, bahwa paham Demokrasi Terpimpin dicetuskan Presiden Soekarno, setelah melalui 3 (tga) kali gagal mencapai kesepakatan, karena hasilnya tidak mencapai 2/3 bagian sebagaimana ketentuan pasal 137 UUDS 1950.
Demokrasi terpimpin berjalan berdasarkan Dekret Presiden Soekarno 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965. Paham demokrasi ini berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (sila ke-4 Pancasila).
Paham ini berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
Meskipun, pada akhirnya Soekarno justru dinilai sedang menggali kubur kekuasaannya sendiri dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan, hingga dijatuhkan dalam sidang MPRS tahun 1966.
Saat Orde Baru lahir, paham Demokrasi Terpimpin mendapat penolakan keras. konsekwensi politik yang menimpa dan mewarnai perjalanan negara-bangsa era Soekarno, hingga Soeharto mengenalkan paham Demokrasi Pancasila sebagai solusi untuk menyelamatkan dan membangun kembali negara yang sedang terpuruk.
Suharto sebagai Presiden RI dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1967 menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya.
Lagi-lagi praktik demokrasi pasar gelap kembali terulang di era Orde Baru, tatkala lembaga MPR sebagai representasi rakyat pemegang saham terbesar demokrasi, tidak mampu mengimbangi kekuatan Presiden (Eksekutif) menjalankan mandate yang diberikan rakyat (konstituen Parpol).
Prinsip Demokrasi Pancasila memang ideal dalam tataran narasi, tetapi relative sama dengan praktik Demokrasi Terpimpin dalam praktiknya. Bukti sejarah yang tak terbantahkan dengan memposisikan Golkar menjadi Single Majority setelah berkolaborasi dengan fraksi ABRI.
Tidak ada kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berpendapat, depolitisasi civitas akademika, semuanya itu merupakan bukti sejarah lainnya. Bahkan, informasi resmi apapun, berada dibawah komando Departemen Penerangan sebagai corong tunggal yang legitimate.
Implikasinya dengan gerak-gerik pemerintahan Jokowi saat ini, nampak ada gejala untuk mengulang kejadian sejarah seperti masa kepemimpinan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. "Sejarah Ingin Membuktikan Bahwa Sejarah Bisa Dicipta atau Diulang".