Namun, ketidaklengkapan kata-kata atau ucapan tersebut, tidak terlalu mengganggu. Sebab paruh lain, berupa imajinasi yang bermain di benak kita, memainkan peran penting. Untuk melengkapinya, menjadi paripurna.
"Mulai dari nol, ya." Siapa yang tidak menginginkannya? Siapa yang tidak mau saling memaafkan--memberi dan menerima? Siapa pula yang tidak menghendaki momentum ini, memulai segala sesuatunya dari "kilometer nol".
Berkenaan dengan ini, ada yang menarik kala saya menyimak buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, penyair kondang asal Yogyakarta, berjudul "Epigram 60" (Gramedia Pustaka Utama, 2022).
Jika adegan di SPBU dalam pariwara itu menggunakan kata "nol" sebagai validasi, maka Jokpin, demikian penyair ini dipanggil secara ringkas, memakai kata "kosong".
Kita bisa menyimaknya melalui dua sajak yang seolah "senada sebangun". Keduanya diletakkan secara terpisah, sebagai puisi awal dan puisi terakhir yang mengapit sajak-sajak dalam Sajian Pertama--semacam Bab--dari empat sajian.
Puisi pertama diberi judul oleh Joko Pinurbo sebagai "Menjelang Tidur". Pada halaman 2 ia menulis,
Tuhan, aku ingin pulang.
Dalam kamus kecilku
pulang = kosong.
Sementara itu pada puisi kedua (halaman 16), Jokpin memberinya judul "Menjelang Pagi". Ia menuturkan,
Tuhan, aku ingin kosong.
Dalam kamus kecilku
kosong = siap diisi.
Jika kita mendekatkan kedua puisi ini dalam sekali baca, kita akan menemukan satu kesatuan pesan. Sang penyair seolah hendak berkata, "mari kosongkan diri sebab hanya dengan mengosonkan diri kita akan menjadi siap untuk diisi dan memulai lagi."
Dear Kompasianer,