Dear Kompasianer,
Setiap orang, meski berusia dan bergender sama, punya banyak cara. Cara dalam berpikir, cara dalam bersikap, dan cara dalam memanifestasikan perilaku. Termasuk dalam konteks perbincangan ini, perihal hal merayakan Tahun Baru.
Masing-masing kita, secara bawaan "pabrik", memang sudah berbeda. Ditambahi pola pengasuhan, kelompok bermain, pendidikan, dan pengaruh keseharian lainnya. Setipis kertas atau setebal si ekstrover versus si introver.
Namun, seperti semua balapan di dunia, baik mobil atau sepeda motor maupun sepeda, sama saja. Tidaklah penting seseorang mengendarai tunggangan berwarna apa, bermodel bagaimana, dan berasal dari pabrikan mana saja.
Atau, atlet lari misalnya. Dalam lomba dengan ukuran jauh berapa pun. Berasal dari negara mana pun. Tak peduli usia, tak menggubris warna kulit.
Semua mereka dalam semua jenis balapan itu, mengikuti aturan yang sama. Mereka menyepakati prosedural yang sama. Punya hak yang sama. Untuk berjajar di depan, sedekat mungkin pada garis mulai.
Demikian pula, alangkah elok, bila kita memperlakukan Natal dan Tahun Baru ibarat Idul Fitri. Berdiri di depan garis waktu, bersama-sama, menjadikannya sebagai sebuah momentum. Momentum penuh makna untuk meminta (serta memberi) maaf dan memulai langkah baru yang dicatat sebagai reputasi (baru) kita.
Dear Kompasianer,
Sampai di sini, saya teringat pada petikan pariwara di SPBU. "Mulai dari nol, ya."
Dalam keseharian, perihal mendengar, memang kita tidak selalu mendengar hanya kata demi kata dilafalkan sedemikian. Berdasarkan pengalaman pribadi, saban kali saya mengisi bensin, kalimat ini tak pernah terdengar lengkap. Bahkan, lebih dari itu, nyaris tak terdengar.
Namun, ketidaklengkapan kata-kata atau ucapan tersebut, tidak terlalu mengganggu. Sebab paruh lain, berupa imajinasi yang bermain di benak kita, memainkan peran penting. Untuk melengkapinya, menjadi paripurna.
"Mulai dari nol, ya." Siapa yang tidak menginginkannya? Siapa yang tidak mau saling memaafkan--memberi dan menerima? Siapa pula yang tidak menghendaki momentum ini, memulai segala sesuatunya dari "kilometer nol".
Berkenaan dengan ini, ada yang menarik kala saya menyimak buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, penyair kondang asal Yogyakarta, berjudul "Epigram 60" (Gramedia Pustaka Utama, 2022).
Jika adegan di SPBU dalam pariwara itu menggunakan kata "nol" sebagai validasi, maka Jokpin, demikian penyair ini dipanggil secara ringkas, memakai kata "kosong".
Kita bisa menyimaknya melalui dua sajak yang seolah "senada sebangun". Keduanya diletakkan secara terpisah, sebagai puisi awal dan puisi terakhir yang mengapit sajak-sajak dalam Sajian Pertama--semacam Bab--dari empat sajian.
Puisi pertama diberi judul oleh Joko Pinurbo sebagai "Menjelang Tidur". Pada halaman 2 ia menulis,
Tuhan, aku ingin pulang.
Dalam kamus kecilku
pulang = kosong.
Sementara itu pada puisi kedua (halaman 16), Jokpin memberinya judul "Menjelang Pagi". Ia menuturkan,
Tuhan, aku ingin kosong.
Dalam kamus kecilku
kosong = siap diisi.
Jika kita mendekatkan kedua puisi ini dalam sekali baca, kita akan menemukan satu kesatuan pesan. Sang penyair seolah hendak berkata, "mari kosongkan diri sebab hanya dengan mengosonkan diri kita akan menjadi siap untuk diisi dan memulai lagi."
Dear Kompasianer,
Jadi, gitu, ya. Begitulah saya memetik insight ini. Di tahun anyar 2023 ini, mari kita memulai langkah baru dari nol, dari titik kosong. Janji?
Baiklah, selamat melangkah. Saya akan mengakhirinya dengan Jason Calacanis yang berpesan,
"You have to have a big vision and take very small steps to get there. You have to be humble as you execute but visionary and gigantic in terms of your aspiration. In the Internet industry, it's not about grand innovation, it's about a lot of little innovations: every day, every week, every month, making something a little bit better."
_
Salam Gudeg dari Jogja,
Khun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H