Mohon tunggu...
Khudrotun Nafisah
Khudrotun Nafisah Mohon Tunggu... Pembelajar Demokrasi dan Kemanusiaan -

Media informasi Divisi SDM dan Organisasi Badan Pengawas Kabupaten Jombang seputar kegiatan pengawasan pemilu 2019. Ditujukan untuk memberikan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Ruang Partisipatif Bawaslu

26 November 2018   11:06 Diperbarui: 26 November 2018   11:18 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : Dokpri

Kualitas penyelenggaran pemilu yang baik ditentukan oleh kualitas penyelenggara pemilu yang baik. Meski harus menjadi kesadaran bersama bahwa mengawal proses demokrasi dalam cerminan pemilu menjadi tanggung jawab semua, karena pemilu itu adalah kita.

Membaca tulisan ini saya kira ada tiga catatan penting dari tulisan Elsa Fifajanti kepada semua yang ada di jajaran penyelenggara pemilu saat ini khususnya bagi jajaran Bawaslu disemua tingkatan. Pertama, senantiasa meningkatkan integritasnya sebagai penyelenggara pemilu. Sebab dalam kewajiban memantau tahapan Pileg dan Pilpres Pemilu 2019, Bawaslu kini memiliki tiga tambahan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 / 2017). untuk, (1) mempermanenkan panitia pengawas (panwas) Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. (2) memutuskan pelanggaran administrasi sehingga temuan panwas tak hanya bersifat rekomendasi, melainkan putusan yang harus ditaati oleh semua pihak. 

Dipasal 94 UU No. 7/2017 Bawaslu berwenang untuk menerima dan memeriksa dugaan pelanggaran, investigasi dan menentukan dugaan pelanggaran, serta memutuskan pelanggaran (3) memberikan akreditasi kepada pemantauan pemilu sehingga Bawaslu dapat mengembangkan kerjasama strategis dalam mengawal penyelenggaraan pemilu.

Sebagai salah satu penyelenggara pemilu bersama KPU, DKPP dan Bawaslu, kewenangan baru ini adalah modal besar Bawaslu untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang adil, damai, dan berintegritas, bebas dari politik uang dan penyalahgunaan jabatan. Terlebih, sejak Januari sampai 22 Februari 2018 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melansir data soal 76 perkara pelanggaran oleh penyelenggara pemilu dengan melibatkan 163 orang penyelenggara dan sebanyak 61,2 persen dari 76 perkara itu terbukti melanggar kode etik. 

Dari jumlah itu, telah dilakukan tindakan berupa 37 peringatan keras, 27 orang diperingatkan, 3 diberhentikan sementara, 11 diberhentikan tetap, 3 orang diberhentikan jabatannya sebagai ketua serta 76 orang direhabilitasi. Dari 61,2 persen oknum yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik sebagian besar berupa pelanggaran profesionalisme, bekerja tidak sesuai prosedur, tidak cermat, tidak teliti, dan lain-lain.

Kedua, tidak pernah berhenti mengedukasi masyarakat untuk tidak mudah "bergosip" atau membangun opini yang salah terkait penyelenggaraan pemilu dan penyelenggara pemilu. Baik disebabkan kekecewaan subyektif/personal atau atas nama kelompok kepentingan atau golongan tertentu. Terbuka mekanisme untuk melaporkan semua data dugaan pelanggaran pemilu. 

Apabila masyarakat memiliki data tentang pelanggaran pemilu baik yang bersifat administratif ataupun etika segera melaporkannya ke pihak berwenang. Pelaporan pelanggaran administratif pemilu ke Bawaslu, sedangkan pelanggaran etika terkait penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu) ke  Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum atau DKPP. Sehingga siapaun berhak memberikan kartu kuning kepada penyelenggara selama data-data pelanggarannya lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hal tidak terkecuali bagi data yang sempat dicatat oleh Elsa Fifajanti sebagaimana disampaikan dalam tulisan "Bolehkah Bawaslu Di Kartu Kuning" untuk juga dilaporkan. Agar sebagai mantan panitia pengawas pemilu yang bersangkutan memiliki tanggung jawab moral dan etik terhadap narasi opini yang terlanjur disebarluaskan melalui media. 

Terlebih hal ini diarahkan kepada penyelenggara pemilu sehingga sekaligus menyangkut kredibilitas hasil pelaksanaan pemilu kepala daerah yang sebelumnya berlangsung. Lebih jauh, tentu kita tidak ingin, jangan sampai terulang kasus operasi plastik dinyatakan melalui media massa sebagai pengeroyokan, seperti yang sempat terjadi pada beberapa waktu yang lalu, Dan kemudian hari diklarifikasi sendiri yang bersangkutan sebagai hoax dan meminta maaf kepada publik.

Dalam regulasi yang berlaku, tindakan menerima gratifikasi dalam bentuk uang/barang atau bentuk gratifikasi lain telah melanggar Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 Pasal 8 huruf a, g dan j tentang kode etik penyelenggara pemilu. Di samping itu, tindakan itu juga melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Kita tentu dapat belajar dari kasus operasi tangkap tangan (OTT) oleh Satgas Anti Politik Uang Mabes Polri bersama jajaran Polda Jawa Barat dan Polres Garut terhadap Oknum Penyelenggara Pemilu, yakni Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Garut dan Komisioner KPU Garut atas dugaan menerima suap terkait kewenanganya dalam penyelenggaraan Pilkada Garut 2018 menjadi sorotan publik dan mencoreng penyelenggara Pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun