Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Diam-diam Membenci dan Mencintai

14 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 14 Agustus 2024   18:54 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Lifestyle Kompas

Dengan cepat Afrizal membereskan semua barang-baranya dalam tas: buku, pulpen, laptop dan charger jangan sampai ada yang tertinggal. Mengingat jarak tempuh kos ke kampus terbilang cukup lama. Butuh dua puluh menit kalau menggunakan sepeda motor. Itu pun kalau lalu lintas berjalan lancar. Tapi jika macet, maka perjalanan bisa memakan waktu tiga puluh sampai empat puluh menit.

Itulah sebabnya, mengapa Afrizal tergolong jarang nongkrong dengan teman-teman kelasnya. Bukan apa-apa, ia hanya ingin fokus kuliah dan belajar. Lalu menggapai prestasi setinggi-tingginya. Bahkan kalau bisa, selepas kuliah langsung mendapatkan pekerjaan yang nyaman secara finansial dan lingkungan. Ya, semua itu didukung dengan keadaan Afrizal yang bukan termasuk golongan orang kaya.

"Hei Bro, mau ke mana? Kelihatannya keburu banget," ucap Iqbal. Orang paling berpengaruh dalam lingkaran pertemanan cowok di kelas.

"Mau pulang, sudah ada janji dengan orang tua," jawab Afrizal sekenanya.

Iqbal tak langsung merespon. Ia hanya tersenyum tipis sambil melihat teman-temannya.

"Sudahlah, jangan alasan seperti itu. Aku tahu kok kalau kamu mau ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas kan?" Tanya Iqbal.

Teman-teman Iqbal yang berjumlah tiga orang itu hanya diam. Tapi sudah jelas mereka berada di pihak siapa.

Afrizal tidak menjawab. Tapi tangannya terus merapikan tasnya. Satu kali lagi, jangan sampai ada yang tertinggal!

"Kalau mau mengerjakan tugas, bagi-bagi dong hasilnya. Masak nilai bagus kamu borong sendiri, itu namanya serakah. Dan serakah itu tidak baik!" Ujar salah satu teman Iqbal yang diikuti dengan senyuman.

Afrizal membisu. Tidak ada waktu lagi. Ia sudah janjian untuk bertemu seseorang di perpustakaan kampus. Di bagian pojok barat. Tempat yang dindingnya bertuliskan quotes indah dan space untuk menyelesaikan tugas. Jauh dari suara-suara bising yang mengganggu konsentrasi. Di sanalah Afrizal dan Safira sering bertukar cerita, refrensi kuliah, bahan bacaan, dan lain sebagainya. Hanya satu yang belum keduanya tukar: perasaan satu sama lain.

Tanpa memperhatikan ocehan Iqbal selanjutnya, Afrizal langsung pergi dengan menggendong tas hitamnya. Tas yang juga sering menjadi bahan olok-olokan teman-temannya karena sudah dikatakan tidak layak pakai. Maklum, namanya juga orang miskin!

Awalnya, di semester satu perkuliahan, Afrizal tidak ada masalah dengan Iqbal. Pun sampai sekarang sebenarnya juga tidak ada masalah. Bedanya, jika dulu perilaku Iqbal masih bisa ditoleransi dan bisa dikatakan tidak menyakiti hati. Tapi sekarang, semuanya berubah drastis seiring perjalanan waktu. Iqbal semakin parah dengan perilaku buruknya seperti suka tidur di kelas, tidak mengumpulkan tugas, dan mengumpat sembarangan. Berbanding terbalik dengan Afrizal yang semakin berprestasi di kelas dan digadang-gadang akan menjadi dosen di masa depan.

Mungkin bisa saja, sikap Iqbal pada Afrizal dilandasi oleh rasa iri dan benci atas apa yang terjadi. Afrizal yang selalu identik dengan nilai bagus, dan Iqbal yang selalu langganan nilai jelek. Bahkan pernah tidak dapat nilai karena ada masalah lain. Afrizal yang pertama kali dicari dosen saat membutuhkan bantuan, dan Iqbal yang seringkali dituduh dosen saat terjadi kerusuhan di kampus. Entah itu ada demonstrasi atas isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), perkelahian atas banyak sebab, dan lain sebagainya.

Afrizal yang berwatak kalem dan tidak suka banyak bicara, berusaha untuk tidak berurusan dengan Iqbal. Bukan masalah takut jika seandainya akan berakhir dengan perkelahian. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yaitu nama baik keluarga dan reputasinya di sekolah. Tentu hal itu tak boleh tercemar walau sedikit pun.

Tapi rupanya, Iqbal tak kunjung jerah setelah selalu tidak direspon oleh Afrizal. Iqbal yang awalnya hanya mengolok-olok Afrizal dengan sebutan "sok rajin", kini mulai berlanjut pada meminta hasil tugas Afrizal secara paksa. Tentu, hal itu sempat membuat Iqbal mendapatkan nilai bagus di beberapa mata kuliah. Iqbal yang awalnya hanya menyenggol badan Afrizal saat tak sengaja berpapasan, kini mulai berubah mencegat Afrizal di suatu tempat dan memojokkannya bersama tiga teman yang sering Iqbal bawa. Di sana, Afrizal akan didorong, dibentak, bahkan sempat hampir dikeroyok namun berhasil diselamatkan oleh segerombolan orang yang sedang berlari mengejar copet.

Sampai saat ini, Afrizal masih terus berusaha untuk bersabar. Meski kesabaran setiap orang pasti ada batasnya, yang jelas, Afrizal tidak mau hal ini merusak prestasi akademiknya nanti.

***

"Kamu membencinya?" Tanya Safira di ruang perpustakaan.

Afrizal tidak langsung menjawab. Tapi diakui atau tidak, ia memang benar-benar sudah muak dengan perlakukan Iqbal.

Kepada Safira, Afrizal menceritakan semua perlakukan Iqbal pada dirinya. Ya, maksud Afrizal bercerita bukan untuk mengeluh pada seorang perempuan. Ia hanya ingin melepaskan seluruh unek-unek yang mengendap dalam kepala. Tak lebih dari itu.

Safira yang berasal dari jurusan sebelah, yang kenal dengan Afrizal melalui organisasi penelitian sejak masih berstatus mahasiswa baru, selalu berhasil menjadi pendengar yang baik. Safira tak pernah memotong kalimat Afrizal saat ia sedang bercerita. Safira pasti memberikan saran di akhir pembahasan. Pun ia tak pernah bilang "bosan" meski sering menjadi tempat curhatan Afrizal yang hanya berstatus sebagai teman. Tak lebih dari itu.

"Entahlah, Fir. Sepertinya sudah mulai begitu," jawab Afrizal setelah beberapa kali mengalihkan pandangan.

"Kalau menurutmu, aku harus bagaimana?" Tanya Afrizal setelah beberapa menit tidak ada suara karena fokus pada buku masing-masing.

Safira menatap tajam ke arah Afrizal. Seperti sedang mencari di mana akar permasalahannya.

"Pastinya, kalau yang dilakukan Iqbal sudah kelewat batas, kamu harus melawan, Zal!" Jawab Safira dengan nada tegas di akhir kalimat.

Safira paham betul bahwa laki-laki di depannya bukanlah tipe laki-laki penakut. Laki-laki yang tunduk dan patuh dalam hal apapun layaknya budak raja. Hanya saja, Afrizal terlalu sabar dalam menanggapi perlakuan temannya. Perlakuan yang sudah jelas-jelas merugikan dirinya. Entahlah, mungkin ada hal lain yang menahan Afrizal untuk melakukan perlawanan.

Oleh sebab itu pula, tanpa disengaja, secara diam-diam Safira menyukai Afrizal yang terkenal sabar dan cerdas. Apalagi Afrizal juga adalah laki-laki yang enak diajak ngobrol, pengertian, sopan, dan tahu batasan dalam hubungan lawan jenis. Meski di sisi lain, Afrizal bukanlah laki-laki tampan seperti artis-artis yang sering mucul di televisi. Ini membuktikan bahwa bukan ketampanan dan kekayaan yang dicari Safira. Tapi lebih dari itu.

"Dengan cara apa? Berkelahi?" Afrizal masih belum menemukan inti dari jawaban Safira.

"Tidak semua perlawanan berbentuk berkelahi, Zal. Kamu bisa mengancam balik mereka atau mengadukan mereka ke pihak kampus. Agar mereka tidak keenakan, apalagi sampai merembet pada yang lain," jelas Safira.

Kemudian Afrizal menutup buku. Mencerna apa yang baru saja disarankan Safira.

"Tapi aku bukan tipe orang pengadu. Yang selalu memohon bantuan dari orang lain. Selama aku bisa melakukannya sendiri, akan kuusahakan terlebih dahulu," jawab Afrizal dengan nada santai. Berharap Safira tidak tersinggung atas jawabannya.

"Menurutku, itu sudah beda konteks. Justru akan lebih berbahaya jika kamu biarkan saja Iqbal seperti itu. Sedangkan kamu sendiri terus menahan diri dari berkelahi," ungkap Safira.

Afrizal terdiam. Spontan ia membenarkan apa yang baru saja dikatakan Safira. Bahwa tidak baik membiarkan kejahatan terus berlangsung. Meski itu terkesan remeh dan kecil. Ya, ungkapan Safira itu mengakhiri pembahasan tentang Iqbal waktu itu. Setelah itu keduanya kembali sibuk dengan buku masing-masing.

***

Di hari-hari selanjutnya, tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Iqbal tetap berbuat ulah pada Afrizal baik di dalam atau di luar kelas. Pun sama dengan Afrizal, berusaha untuk tetap sabar meski sebenarnya ia mempunyai kesempatan dan kekuatan untuk melawan. Apalagi Afrizal sudah mempunyai bekal ilmu silat yang sempat ia tekuni selama tiga tahun saat dulu masih berada di pondok pesantren.

Sedangkan untuk Safira, Afrizal mulai sadar bahwa ia sudah benar-benar mencintainya. Meski sampai saat ini Afrizal masih belum mengungkapkan perasaannya. Entah itu sampai kapan***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun