Dua hari berlalu dari rapat evaluasi bulanan. Dan Irfan, kini perlahan-lahan mencoba memperbaiki gaya mengajarnya sebagaimana dosen-dosen senior lainnya yang berhasil menaklukkan ruang perkuliahan. Tapi sayang, hal itu rupanya tak semudah yang dibayangkan. Irfan masih kewalahan beradaptasi dengan kehidupan dosen yang sesungguhnya.
"Maaf saja, Fan, menurut saya, kamu itu memang belum siap menjadi dosen. Hanya saja, karena pamanmu memiliki pengaruh di sini, dan agar kamu tidak menjadi pengangguran setelah menamatkan kuliah S2, kamu terpaksa diajak dan direkrut untuk menjadi tenaga pengajar di sini," ucap Danial pada suatu kesempatan.
Irfan hanya terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya waktu itu.
"Secara jujur, lembaga pendidikan itu, termasuk perusahaan yang lainnya membutuhkan kompetensi yang mumpuni untuk menjalani beragam tugas di dalamnya. Bagaimana mau maju jika SDM yang diterima berdasarkan kekeluargaan, bukan berdasarkan kemampuan? Saya rasa kamu pasti paham ini," jelas Danial.
Waktu itu, Irfan dan Danial yang terjebak dalam forum ngopi di kantin kampus, di sore hari, saat hujan sedang deras-derasnya. Dan di momen itu, suasana berhasil membuat keduanya membuka mulut secara jujur. Ya, kegelisahan yang dialami Irfan tentang keadaan dirinya yang merasa tak mampu menjadi dosen ideal, dan kegelisahan Danial tentang pengembangan pendidikan yang tak kunjung terwujud, membawa keduanya pada refleksi yang panjang. Entah apakah ini hanya sekadar disadari selama hujan berlangsung atau akan naik ke tataran yang lebih tinggi.
"Kamu benar, Nil. Tapi di sini kita hanya sebatas berbicara, yang menentukan tetaplah pimpinan," ujar Irfan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H