Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pintu yang Terbuka di Pagi Hari

4 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 4 Agustus 2024   07:34 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di rumahku, tak kurang dari delapan pintu yang ada di dalamnya. Mulai dari pintu kamar mandi, pintu dapur, pintu kamar Ibu, pintu kamar Bapak, pintu kamarku sendiri, pintu ruang keluarga, dan pintu depan rumah sebagai benda pertama yang harus dilewati saat orang hendak masuk ke rumaku. Memang, menurut sebagian orang, atau mungkin kebanyakan orang, pintu-pintu hanyalah komponen rumah biasa yang tidak ada artinya. Benda mati yang tak perlu diagung-agungkan atau sampai dijadikan bahan penulisan cerpen. Tapi tidak bagiku. Pintu-pintu itu menyimpan rahasia yang sebagian bisa dipahami, dan sebagian yang lain tidak sama sekali.

Bagiku, pintu-pintu itu adalah sebuah tanda bahwa di antara kita selalu terdapat batas yang harus dimaklumi dan diterima dengan sempurna. Seperti pintu kamar Ibu yang ada di sebelah kamarku. Ya, meski aku tak pernah menyaksikan langsung kalau Ibu melakukan aktivitas khusus yang memang tidak boleh diketahui oleh siapa pun, tapi menurut kabar angin yang kuterima, seorang Ibu selalu menyimpan sedih di dalam kamarnya agar ia senantiasa bisa kuat menjalani aktivitas sehari-hari yang tiada henti. Bayangkan, Ibu tak pernah berhenti bekerja dari bangun tidur sampai tidur lagi. Mulai dari menyiapkan sarapan pagi, mencuci baju Bapak dan Mbakku, menyapu rumah dan halaman depannya, dan masih ditambah kesibukan warung yang tak pernah mengenal kata sepi.

Kemudian, aku tak bisa memprediksi bagaimana saat Ibu sudah sampai di dalam kamarnya. Ya, pintu itulah yang menghalangi pandanganku terhadap Ibu. Tapi memang, menurut ajaran beberapa guru di Pondok, salah satu bentuk kesopanan seorang anak terhadap Ibunya adalah dengan cara tidak masuk ke dalam kamar Ibu secara sembarangan. Kecuali memang disuruh oleh Ibu, maka itu boleh dilakukan. Dan sampai sekarang, di usiaku yang memasuki angka dua puluh empat, aku masih belum mendapatkan perintah itu. Sama sekali. Aneh bukan? Ya, aku jadi semakin khawatir kalau itu menandakan bahwa dari saking banyaknya sedih yang Ibu simpan di dalam kamarnya, sampai ia melarang anaknya untuk masuk. Entahlah, tapi semoga saja tidak seperti itu.

Beda lagi dengan pintu masuk ke area dapur. Pintu itu lebih sering dibuka dengan tanpa alasan yang jelas. Pintu itu hanya akan ditutup saat semua penghuni rumah hendak tidur di kamarnya masing-masing. Menurutku, di bagian pintu ini, tidak ada masalah yang cukup serius. Meski percekcokan antar Mbakku dan Ibu perihal menu masakan adalah suatu fenomena yang bisa tiba kapan saja.

"Kurang asin, Nak," ucap Ibuku begitu mencicipi masakan Mbakku.

"Nggak enak, Bu kalau terlalu asin. Ini sudah pas kok," kilah Mbakku.

"Dibilangin nggak percaya. Coba dulu deh, tambahin garam lagi," saran Ibu.

"Nggak perlu deh, Bu. Ini udah enak kok," balas Mbakku dengan ekspresi khasnya yang agak memelas. Dan aku, seperti biasa mengamati kebersamaan mereka dari samping pintu dapur yang terhubung ke ruang tengah. Ya, pintu yang terbuka itu benar-benar menghubungkan dua keadaan dari tempat yang berbeda.

Beralih ke pintu kamar mandi. Pintu yang selalu dijaga dengan keamanan maksimal agar tidak sedikit pun tercipta celah yang bisa membuat siapa saja mengintip ke bagian dalam kamar mandi. Bagiku, pintu itu adalah batas privasi yang terbebas dari interaksi sosial. Tidak ada pertengkaran di antara bagian dalam dan luar pintu. Karena memang begitulah pintu kamar mandi, selalu aman dari hingar-bingar kata-kata.

Sementara pintu kamarku sendiri, tak jauh berbeda dengan pintu kamar Bapak dan Mbakku. Terkesan biasa-biasa saja dan seolah tidak ada apa-apa. Tidak ada suatu hal rahasia yang harus diamankan dari orang lain. Tapi untuk kamar Ibu, aku memberikan pengecualian. Hingga akhirnya, pintu rumah terbuka di pagi hari dan memberiku jawaban yang begitu menyakitkan.

***

Ini tentang pintu rumah yang terbuka di pagi hari. Pintu pertama yang menurutku adalah pintu paling banyak menyimpan pelajaran yang tidak bisa semua orang pikirkan. Karena lagi-lagi, ini hanyalah sebuah pintu. Benda mati yang menurut sebagian orang, atau mungkin kebanyakan orang tidak bisa memberikan petunjuk atau isyarat apapun.

Saat situasi sedang baik-baik saja, aku memaknai terbuknya pintu rumah di pagi hari sebagai awal dari keberangkatan Ibu. Keberangkatan yang bisa berubah arah dan tujuan setiap hari. Missal pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan masak untuk nanti siang. Pergi ke kuburan Nenek untuk ziarah. Pergi halaman depan untuk menyapu daun-daun yang sering gugur dari pohon kelor. Dan pergi-pergi lainnya yang masih mengenal kata kembali.

"Tolong ambilkan handuk Ibu, Nak," ucap Ibuku sambil menunjuk tempat jemuran yang posisinya agak tinggi.

Ya, itu adalah kalimat yang sering kudengar saat Ibu hendak mandi setelah menyelesaikan beragam kesibukan di pagi hari. Memang, Ibu yang memiliki postur tubuh pendek tak mampu mengambil dengan sempurna handuk yang ia hampar di tempat jemuran. Tapi, aku selalu dengan senang hati mengambilkan handuk Ibu kapan pun itu, tidak hanya di pagi hari. Karena dengan begini, aku merasa berguna menjadi seorang anak. Meski dalam hal kecil sekali pun.

Setelah itu, saat Ibu bersiap-siap hendak pergi ke pasar dan tidak ada lagi yang perlu diselesaikan, aku memilih duduk di kursi tamu yang berada tepat setelah pintu masuk rumah. Sambil membaca atau menulis, sesekali aku menatap pintu itu. Lalu aku akan menangkap banyak hal dari luar sana. Mulai dari wira-wiri tetangga, kucing yang berkejaran, daun-daun yang jatuh, dan sinar matahari yang semakin terik.

Kemudian, aku akan sibuk sendiri menulis apa saja yang muncul dalam kepalaku. Tanpa memperhatikan bagaimana proses kreatif menulis yang efektif, menyiapkan bahan-bahan tulisan, dan banyak hal lainnya yang sering diajarkan oleh penulis-penulis hebat melalui media sosial mereka. Intinya, aku menulis hanya untuk menumpahkan sedu-sedan dan apapun yang hinggap dalam perasaan.

"Bapak berangkat dulu, Nak," ucap Bapak begitu keluar dari kamarnya.

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan," jawabku lalu tersenyum.

Waktu itu, tidak ada yang mencurigakan antara kami sekeluarga. Semuanya tampak baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pun tidak ada yang perlu ditakutkan.

***

Malam harinya, selepas salat isya, dari dalam kamar, aku mendengar sendiri bagaimana pertengkaran Ibu dan Bapak berlangsung. Suara keduanya meninggi. Tidak ada yang mau mengalah.

"Jangan gampang percaya dengan omongan orang!" Bentak Bapak.

"Gimana nggak percaya, wong sudah ada bukti kayak gini kok," balas Ibu dengan nada tak kalah tinggi.

"Sekarang zaman sudah semakin canggih. Apapun bisa dimanipulasi. Kamu jangan berpikir pendek gitu!" Bapak masih ngotot.

"Berpikir pendek katamu? Aku sudah menahan ini semua sejak dua bulan yang lalu. Dan semuanya jelas, sampai aku menemukan bukti ini," suara Ibu sudah mulai serak.

"Terserah kamu lah!" Ucap Bapak lalu pergi entah ke mana.

Tak lama setelah Bapak pergi entah ke mana, aku mendengar Ibu menangis di ruang keluarga. Ruang yang sejak dulu menjadi tempat favorit kami sekeluarga. Di ruangan itu, biasanya kami sekeluarga akan membahas banyak hal. Mulai dari yang serius, yang bercanda, sampai pada apapun yang bisa membuat kami tertawa bahagia. Lalu perlahan-lahan, waktu dan kecanggihan teknologi merenggut itu semua dari kami. Ruang keluarga semakin sepi, sunyi, bahkan mati dengan sendirinya. Dan sekarang, Ibu berada di sana dalam situasi yang tidak baik-baik saja.

Setelah berhasil menguatkan hati, aku menghampiri Ibu. Memeluknya. Berusaha menguatkannya. Meski aku sendiri merasa rapuh atas apa yang baru saja aku dengar dari balik pintu kamar.

"Ada apa, Bu? Kenapa dengan Bapak?" Tanyaku sambil menahan tangis.

Ibu terus menangis. Tidak ada jawaban dari beliau. Aku bingung harus melakukan apa. Yang jelas, aku hanya bisa menemani Ibu sepanjang malam. Sampai sedihnya selesai, sampai Ibu masuk ke kamarnya dan aku bisa tidur dengan tenang.

Besok harinya, aku langsung menuju kamar Ibu. Aku ingin memastikan bahwa beliau baik-baik saja setelah semalam berhasil kembali ke kamar pada pukul sebelas malam. Aku berharap sedih dan luka atas pertengkaran dengan Bapak sudah menghilang, atau paling tidak berkurang.

Tapi sayang, begitu masuk ke kamar Ibu, hanya sunyi yang kudapat. Beberapa barang Ibu yang biasa dipajang dan diletakkan di luar, sudah tidak ada sama sekali. Bersih. Akhirnya, kuberanikan diri membuka lemari baju Ibu. Tidak ada baju satu pun. Dan seketika, perasaan cemas, sedih, dan takut bercampur menjadi satu. Menggumpal dalam dadaku.

Aku keluar kamar. Lalu kudapati pintu rumah terbuka lebar. Tak seperti biasanya. Ini masih terlalu pagi untuk kebiasaan membuka pintu setiap hari. Lantas beberapa pertanyaan menyergap kepalaku secara bersamaan.

Sebenarnya apa yang terjadi antara Bapak dan Ibu? Ke mana ibu pergi? Apakah kepergiannya akan tetap mengenal kata kembali sebagaimana biasanya? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun