Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pintu yang Terbuka di Pagi Hari

4 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 4 Agustus 2024   07:34 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan gampang percaya dengan omongan orang!" Bentak Bapak.

"Gimana nggak percaya, wong sudah ada bukti kayak gini kok," balas Ibu dengan nada tak kalah tinggi.

"Sekarang zaman sudah semakin canggih. Apapun bisa dimanipulasi. Kamu jangan berpikir pendek gitu!" Bapak masih ngotot.

"Berpikir pendek katamu? Aku sudah menahan ini semua sejak dua bulan yang lalu. Dan semuanya jelas, sampai aku menemukan bukti ini," suara Ibu sudah mulai serak.

"Terserah kamu lah!" Ucap Bapak lalu pergi entah ke mana.

Tak lama setelah Bapak pergi entah ke mana, aku mendengar Ibu menangis di ruang keluarga. Ruang yang sejak dulu menjadi tempat favorit kami sekeluarga. Di ruangan itu, biasanya kami sekeluarga akan membahas banyak hal. Mulai dari yang serius, yang bercanda, sampai pada apapun yang bisa membuat kami tertawa bahagia. Lalu perlahan-lahan, waktu dan kecanggihan teknologi merenggut itu semua dari kami. Ruang keluarga semakin sepi, sunyi, bahkan mati dengan sendirinya. Dan sekarang, Ibu berada di sana dalam situasi yang tidak baik-baik saja.

Setelah berhasil menguatkan hati, aku menghampiri Ibu. Memeluknya. Berusaha menguatkannya. Meski aku sendiri merasa rapuh atas apa yang baru saja aku dengar dari balik pintu kamar.

"Ada apa, Bu? Kenapa dengan Bapak?" Tanyaku sambil menahan tangis.

Ibu terus menangis. Tidak ada jawaban dari beliau. Aku bingung harus melakukan apa. Yang jelas, aku hanya bisa menemani Ibu sepanjang malam. Sampai sedihnya selesai, sampai Ibu masuk ke kamarnya dan aku bisa tidur dengan tenang.

Besok harinya, aku langsung menuju kamar Ibu. Aku ingin memastikan bahwa beliau baik-baik saja setelah semalam berhasil kembali ke kamar pada pukul sebelas malam. Aku berharap sedih dan luka atas pertengkaran dengan Bapak sudah menghilang, atau paling tidak berkurang.

Tapi sayang, begitu masuk ke kamar Ibu, hanya sunyi yang kudapat. Beberapa barang Ibu yang biasa dipajang dan diletakkan di luar, sudah tidak ada sama sekali. Bersih. Akhirnya, kuberanikan diri membuka lemari baju Ibu. Tidak ada baju satu pun. Dan seketika, perasaan cemas, sedih, dan takut bercampur menjadi satu. Menggumpal dalam dadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun