Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pintu yang Terbuka di Pagi Hari

4 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 4 Agustus 2024   07:34 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di rumahku, tak kurang dari delapan pintu yang ada di dalamnya. Mulai dari pintu kamar mandi, pintu dapur, pintu kamar Ibu, pintu kamar Bapak, pintu kamarku sendiri, pintu ruang keluarga, dan pintu depan rumah sebagai benda pertama yang harus dilewati saat orang hendak masuk ke rumaku. Memang, menurut sebagian orang, atau mungkin kebanyakan orang, pintu-pintu hanyalah komponen rumah biasa yang tidak ada artinya. Benda mati yang tak perlu diagung-agungkan atau sampai dijadikan bahan penulisan cerpen. Tapi tidak bagiku. Pintu-pintu itu menyimpan rahasia yang sebagian bisa dipahami, dan sebagian yang lain tidak sama sekali.

Bagiku, pintu-pintu itu adalah sebuah tanda bahwa di antara kita selalu terdapat batas yang harus dimaklumi dan diterima dengan sempurna. Seperti pintu kamar Ibu yang ada di sebelah kamarku. Ya, meski aku tak pernah menyaksikan langsung kalau Ibu melakukan aktivitas khusus yang memang tidak boleh diketahui oleh siapa pun, tapi menurut kabar angin yang kuterima, seorang Ibu selalu menyimpan sedih di dalam kamarnya agar ia senantiasa bisa kuat menjalani aktivitas sehari-hari yang tiada henti. Bayangkan, Ibu tak pernah berhenti bekerja dari bangun tidur sampai tidur lagi. Mulai dari menyiapkan sarapan pagi, mencuci baju Bapak dan Mbakku, menyapu rumah dan halaman depannya, dan masih ditambah kesibukan warung yang tak pernah mengenal kata sepi.

Kemudian, aku tak bisa memprediksi bagaimana saat Ibu sudah sampai di dalam kamarnya. Ya, pintu itulah yang menghalangi pandanganku terhadap Ibu. Tapi memang, menurut ajaran beberapa guru di Pondok, salah satu bentuk kesopanan seorang anak terhadap Ibunya adalah dengan cara tidak masuk ke dalam kamar Ibu secara sembarangan. Kecuali memang disuruh oleh Ibu, maka itu boleh dilakukan. Dan sampai sekarang, di usiaku yang memasuki angka dua puluh empat, aku masih belum mendapatkan perintah itu. Sama sekali. Aneh bukan? Ya, aku jadi semakin khawatir kalau itu menandakan bahwa dari saking banyaknya sedih yang Ibu simpan di dalam kamarnya, sampai ia melarang anaknya untuk masuk. Entahlah, tapi semoga saja tidak seperti itu.

Beda lagi dengan pintu masuk ke area dapur. Pintu itu lebih sering dibuka dengan tanpa alasan yang jelas. Pintu itu hanya akan ditutup saat semua penghuni rumah hendak tidur di kamarnya masing-masing. Menurutku, di bagian pintu ini, tidak ada masalah yang cukup serius. Meski percekcokan antar Mbakku dan Ibu perihal menu masakan adalah suatu fenomena yang bisa tiba kapan saja.

"Kurang asin, Nak," ucap Ibuku begitu mencicipi masakan Mbakku.

"Nggak enak, Bu kalau terlalu asin. Ini sudah pas kok," kilah Mbakku.

"Dibilangin nggak percaya. Coba dulu deh, tambahin garam lagi," saran Ibu.

"Nggak perlu deh, Bu. Ini udah enak kok," balas Mbakku dengan ekspresi khasnya yang agak memelas. Dan aku, seperti biasa mengamati kebersamaan mereka dari samping pintu dapur yang terhubung ke ruang tengah. Ya, pintu yang terbuka itu benar-benar menghubungkan dua keadaan dari tempat yang berbeda.

Beralih ke pintu kamar mandi. Pintu yang selalu dijaga dengan keamanan maksimal agar tidak sedikit pun tercipta celah yang bisa membuat siapa saja mengintip ke bagian dalam kamar mandi. Bagiku, pintu itu adalah batas privasi yang terbebas dari interaksi sosial. Tidak ada pertengkaran di antara bagian dalam dan luar pintu. Karena memang begitulah pintu kamar mandi, selalu aman dari hingar-bingar kata-kata.

Sementara pintu kamarku sendiri, tak jauh berbeda dengan pintu kamar Bapak dan Mbakku. Terkesan biasa-biasa saja dan seolah tidak ada apa-apa. Tidak ada suatu hal rahasia yang harus diamankan dari orang lain. Tapi untuk kamar Ibu, aku memberikan pengecualian. Hingga akhirnya, pintu rumah terbuka di pagi hari dan memberiku jawaban yang begitu menyakitkan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun