Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengamen Kecil

23 Agustus 2019   06:30 Diperbarui: 23 Agustus 2019   06:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap orang yang lahir di dunia ini memiliki garis takdirnya masing-masing. Tidak perlu iri dengan keadaan orang lain yang lebih baik dan tak perlu sombong dengan keadaan diri yang lebih baik. Tuhan bisa dengan cepat mengubah jalan kehidupan seseorang dalam jangka waktu yang tak terduga.

Begitu pula dengan Fani, dia adalah keturunan seorang pengemis kota yang pekerjaannya hanya menengadahkan kantong plastik di hadapan orang-orang berharap sedikit belas kasih dari banyaknya uang mereka. Berjalan dari toko ke toko, bis ke bis, atau diam di depan indomaret yang pasti ramai akan orang.

Bedanya, jika orang tua Fani asli mengemis tanpa melakukan apa-apa, maka Fani sedikit melakukan usaha dengan menjual suaranya yang lumayan bagus sambil bermain pecahan tutup botol yang telah ditindih. 

Usia Fani yang masih menginjak sepuluh tahun tak membuatnya takut menghadapi kerasnya kehidupan. Ia sudah melalang buana di bis-bis kota dengan alat musiknya itu dan sekantong plastik untuk mengais harapan dari orang-orang.

"Semoga hari ini dapat banyak," batin Fani ketika hendak pergi dari rumahnya yang tak pantas di sebut rumah.

Tempat tinggalnya hanyalah sebuah cagak kayu yang ditutup dengan triplek tipis dilapisi koran tanpa genting sebab tepat berada di bawah pohon yang daunnya sangat lebat. Letaknya beada di dekat jembatan besar dan di samping sungai yang banyak sampahnya. 

Jika hujan datang, maka dapat dipastikan titik air akan masuk membasahi apa saja yang ada di dalam. Parahnya, ketika terjadi hujan lebat disertai angin kencang yang menggugurkan daun-daun, maka seluruh penghuni harus mengungsi ke emperan toko orang.

Pagi itu, Fani duduk di pinggir jalan seperti biasa dengan celana pendek se lutut warna hitam dan kaos merah yang sudah tiga hari belum dicuci. Bukan apa-apa, dia dan orang tuanya sangat menghemat pengeluaran uang walau sekedar membeli rinso demi sesuap nasi. Karena itu adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap harinya. Ditambah lagi di sini adalah kota Jakarta.

Fani melambaikan tangannya saat melihat bis kota menuju ke arahnya. Bis itu berhenti.

Tampak semua kursi telah terisi penuh oleh penumpang. Mulai dari yang tua, muda, remaja, bahkan anak-anak. Dengan demikian, peluang untuk mendapatkan receh lebih banyak akan lebih banyak pula. Sejurus kemudian ia melakukan aksinya.

"Pemisi bapak-bapak, ibu-ibu, penumpang bis jurusan pasar baru dan sekitarnya, saya di sini ingin mengamen mengharap keikhlasan bapak ibu semua walau hanya receh-receh, rokok, permen, asalkan ikhlas, halal bagi kami. Selamat menikmati," pungkas Fani.

Ia pun langsung menyanyi salah satu lagu Rhoma Irama setelah beberapa gesekan dimulai.

Ia berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik pada penumpang. Suara yang sudah terlatih selama 2 tahun yang lalu terdengar lebih enak dari yang sebelumnya. 

Beberapa penumpang menikmati dengan betul pertunjukan Fani yang hanya bermodal tutup botol yang ditempelkan pada sebatang kayu. Sebagian yang lain acuh tak acuh, dan yang lainnya tidur.

Lagu selesai.

Fani mulai menyisir para penumpag dengan menyuguhkan kantong plastik yng tadi ia bawa dari rumah. Ia berharap semua penumpang bis ini adalah orang dermawan yang ikhlas mengeluarkan uang-uang recehnya untuk membantu dirinya bertahan hidup.

"Terima kasihh pak,"

"Terima kasih bu,"

"Terima kasih,"

Ucapan itu Fani ulang-ulang setiap kali ada yang memberi. Tapi ternyata, ucapan itu hanya berakhir tiga kali dari sekian banyak penumpang yang ada.

"Alhamdulillah," batin Fani.

Fani berdiri di barisan paling belakang setelah mengamankan kantong plastiknya di celana hitamnya. Kernet bis terlihat bertanya sekaligus menarik uang pada penumpang yang masih belum bayar. 

Disampingnya ada seorang ibu-ibu yang menggendong bayi sekitar umur sepuluh bulan. Terpancar cahaya masa depan dari mata anak itu. Mungkin kelak dia akan menjadi orang besar.

Selama perjalanan Fani tak ada niat untuk membuka kantong plastiknya tuk sekedar memastikan berapa rupiah yang ia dapatkan. Fani hanya sesekali bersiul mengusir jenuh yang datang tanpa aba-aba. Ia berharap ada pengamen perempuan yang masuk kemudian bernyanyi sebagai hiburan bagi dirinya.

Bis berjalan pelan. Harapan Fani tak terkabul. Sepuluh menit kemudian bis berhenti di pasar baru dan Fani pun turun dengan santainya.

Pas ketika Fani menginjakkan kakinya ke tanah, matahari langsung menyambutnya dengan sinar panas yang membuat kulit Fani hitam jika terus berlama-lama di bawahnya. 

Lima orang yang menunggu di pinggir jalan langsung masuk ke pintu di mana Fani keluar. Nafas Fani seolah terlepas dari beban begitu sepenuhnya keluar dari bis.

Kebetulan di depan sana, Fani menemukan tempat duduk umum yang dihiasi oleh bunga-bunga dan pohon cemara yang agak besar. Fani memutuskan untk istirahat di sana sekaligus melepas lelah dan menghitung rupiah yang baru saja dia dapatkan.

Tiga ribu rupiah.

Nomial yang didaptkan hari ini jauh lebih sedikit dibanding hari kemarin. Di hati paling dalam dia merasa seedih menerima itu semua, tapi apalah daya, semua yang diberikan Tuhan harus disyukuri.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Jam segitu biasanya Fani langsung pulang menuju rumah. Dia memang tidak seharian bekerja mengamen, apalagi di usianya yang masih tergolong kanak-kanak. Namun bedanya kali ini, terintas dalam benak Fani untuk kembali berjuang di bis berikutnya.

Selama menunggu bis, Fani hanya duduk santai menikmati panas yang sebenarnya bukan sebuah kenikmatan. Pohon cemara yang berada di sekitarnya tak mampu tuk melindunginya dari sengatan panas yang semakin menggila. Gerobak bakso berwarna biru tampakk ramai di seberang jalan. Dan perut Fani sebenarnya sedang keroncong tapi sengaja ia tahan.

##@@##

Bis akhirnya datang. Di kaca depan tak tertera tujuan mana yang akan disinggahi terakhir. Dan Fani memang terpikir untuk itu.

Fani kembali melambaikan tangan. Bis berhenti. Ia kembali masuk dengan membawa harapan yang lebih besar dari sebelumnya.

Semoga saja.

Dalam segala hal, melakukan hal yang kedua kalinya biasanya akan lebih enjoy dari yang pertama. Sebab sudah mendapat pengalaman di moment yang pertama. Tapi anehnya, Fani merasakan hal yang berbeda. Ia merasakan ada sebuah ancaman yang sedang mengincar dirinya. Entah itu apa.

Kursi-kursi di bis tidak sepenuh tadi. Kasihan sekali nasib bis ini. lebih banyak yang kosong dibanding yang terisi. Sempat harapan besar di saat masuk itu musnah, tapi Fani tetap berusaha optimis. 

Ia bermain dengan sebaik mungkin. Sebelum itu, ia meminta kepada kernet untuk mematikan musik yang sedang diputar olehh supir dengan nada yang sangat sopan.

Tiga menit Fani menghibur penumpang, atau yang lebih tepatnya mengganggu penumpang yang tidur. Sebab dari mereka kebanyakan yang sudah pergi ke dunia mimpi.

Pelan-pelan Fani berjalan melakukan hal yang sama dengan tadi. Menyuguhkan sekantong plastik untuk meminta keikhlasan rupiah dari penumpang yang peduli. Mulai dari depan semuanya masih terlihat biasa saja. 

Sampai pada barisan belakang, seorang laki-laki dengan topi ala koboy dan kaca mata hitam membuat Fani tak enak hati. Hal yang membuat Fani bahagia, dia memberikan uang sepuluh ribuan. Namun tatapannya seolah masih ada sesuatu yang belum selesai. dan itu akan terjadi pada dir Fani.

Fani kembali duduk dengan tenang atau yang lebih tepatnya berusaha tenang. Posisinya tepat berada di belakang laki-laki itu di barisan bagian kanan. Entah mengapa Fani tiba-tiba memilih tempat duduk itu. Kemudian seorang bapak tua menawarinya kacang seharga lima ratus rupiah dengan nada sedikit memaksa. Tapi Fani tetap tidak mau.

Bis berhenti sejenak, tampaknya ada penumpang yang ingin ikut bis itu menuju suatu tempat. Fani bersikap biasa saja. Dia masih belum ingin turun di situ. Seorang wanita sekitar berumur dua puluh tahun berkerudung hitam, baju coklat, dan dengan bawahan hitam pula masuk. 

Tas yang dibawanya tampak berat. Terlihat dari keringat dan mimik wajahnya yang bersungguh-sungguh untuk mengangkatnya. Dengan cepat kernet membantunya meletakkan barang dan dia duduk di depan orang misterius tadi. Kuharap laki-laki itu tidak berbuat jahat pada wanita itu.

"Terima kasih," ucap wanita itu setelah menerima kembalian dari kernet.

Bis kembali berjalan seperti biasa.

Jika diperhatikan dengan seksama, perempuan itu tampaknya adalah seorang mahasiswi semester tiga yang hendak pulang kampung. Fani yang masihh tergolong kanak-kanak tentu tidak sesuai dengan perempuan itu. Ia butuh tambahan umur sekitar sepuluh atau sebelas tahun lagi untuk bisa mendekati perempuan itu. Kemudian menjadikannya teman hidup.

Di dekat supir, si kernet duduk manis sambil menikmati gorengan yang ia beli saat bis berhenti sejenak. Fani yang melihat itu langsung direspon oleh perutnya. Tapi lagi-lagi dia harus menahan hasrat itu karenan masih ada yang lebih penting. Yaitu makanan pokok.

##@@##

Jauh di sana, Ibu telah sampai di rumah dari tempatnya mengemis. Sedang bapak masih berada di tempat biasa dia mengemis. Meskipun begitu, kelluarga dengan ekonomi yang sangat memprihatinkan ini masih bisa tetap bahagia. 

Ini bukti bahwa bahagia tidak sepenuhnya datang dari kecukupan harta, tingginya jabatan, dan hal-hal yang berbau duniawi. Mereka masih bisa tersenyum dengan keadaan yang sangat sulit.

"Fani kok belum datang ya?" tanya Ibu pada dirinya sendiri.

"Ah, mungkin masih bermain di sungai," jawabnya sendiri berpikir positif.

Fani sejak dulu memang sering bermain di sungai. Jika seandainya jam pulang dia belum datang, maka sembian puluh persenn dapat dipastikan dia berada di sungai. 

Kadang bersama dengan teman-temannya yang lain, dan kadang pula sendirian. Memandang ikan-ikan yang berenang dengan begitu indahnya di antara aliran air yang dapat membasuh kenangan.

Ibu memutuskan untuk pergi ke dapur. Dapur yang didesain oleh tangan bapak sendiri dengan bahan sederhana dan ala kadarnya. Hanya ada batu, wajan, dan beberapa kayu hasil tebangan bapak di sore hari. Masakan yang paling sering dimunculkan hanya tahu dan tempe goreng. 

Sebab hanya itu yang mampu dibeli dan simple dalam pembuatannya. Dilengkapi dengan sambal terasi yang mampu menggoyang mulut. Maka makan pun akan menjadi sangat nikmat.

Satu jam berlalu.

Bapak akhirnya datang membawa uang seribuan lengkap dengan keringat akibat jalan kaki di siang hari. Daerah jakarta memang akan sangat menyiksa di waktu siang. Cuaca akan membakar kulit hingga masak bahkan gosong. Tapi hal tersebut sudah biasa bagi keluarga Fani, hingga semuanya sudah tak terasa lagi.

Ibu menyambut bapak dengan senyum yang sangat indah. Bapak langsung mengecup kening ibu dengan penuh perasaan. Sungguh moment yang sangat istimewa dimiliki oleh mereka yang sudah resmi menikah atas dasar cinta yang sesungguhnya.

"Fani ke mana dek?" tanya  pada Ibu dengan nada halus.

"Kurang tahu ya pak, jam segini biasanya sudah pulang, paling masih main di sungai," jawab Ibu tak kalah halus.

Sungguh keberanian yang sangat luar biasa dimiliki oleh Bapak dan Ibu yang membiarkan anaknya mandiri di usia yang masih kanak-kanak dan perlu pengawasan ketat dari orang tua. Sungguh karena himpitan ekonomi dan tidak adanya orang atas yang sadar atas kemelaratan mereka membuat semuanya harus seperti itu.

"Ya sudah aku istirahat dulu," kata Bapak yang kemudan berdiri.

Prasangka Ibu salah. Ternyata beliau lebih memilih untuk istirahat dibanding sarapan.

"Oh, enggeh,"

##@@##

Bis berhenti. Fani turun dan orang misterius itu juga ikut turun. Perasaan tidak enak mulai mendatangi Fani. Meski masih kecil, ia dapat merasakannya. Fani sudah tak mengenal ia berada di lingkungan mana. Rupanya dia terlalu menikmati perjalanan hingga lupa kembali.

Dia membuntuti dari belakang, Fani semakin mempercepat langkah. Hingga akhirnya Fani berubah berlari. Dan orang itu juga ikut berlari. Ternyata benar, dia memang mengincar Fani.

"Hey nak, tunggu," kata orang itu sambil berlari.

Fani tak menghiraukan. Ia semakin mempercepat langkah. Tapi sayang, cengkeraman laki-laki itu berhasil menangkap Fani.

"Lepaskan!" berontak Fani sambil mengayun-ayunkan tangannya dengan kuat.

"Hey, dengarkan saya dulu, saya bukan orang jahat," laki-laki itu berusaha menjelaskan siapa dirinya.

"Tidak pak, jangan bunuh saya,"

"Tolong.. Tolong..," jerit Fani.

Laki-laki itu dengan cepat langsung mendekap mulut Fani dan menggendongnya dengan paksa ke tempat yang aman. Melewati jalanan sempit, pohon-poon lebat, dan bekas hujan semalam yang bercipratan ke man-mana.

"Aku bisa membanyumu, setelah mendengar kamu menyanyi tadi, tampaknya kamu puya potensi yag sangat kuat. Lelaki itu memegang dua pundak Fani meyajinan.

"Aku punya dapur rekaman, dan kebetulan saya lagi orang untuk mengisi itu. Dan tampaknya kamu cocok untuk itu,"

Fani yang dari tadi ngoceh akhirnya berhenti tiba-tiba.

##@@##

Waktu dengan cepat berlalu.

Fani akhirnya menjadi bintang setelah melewati beberapa fase yang sulit.

Pertama, dia telah membuat khawatir kedua orang tua karena tidak kembali ke rumah selama sebulan. Dalam waktu yang cukup lama itu, Fani dikabarkan sudah hilang atau meninggal diterkam kehidupan.

Kedua, sekembalinya ke rumah, dia tidak mendapat restu untuk melanjutkan karier menjadi seorang penyanyi yang biasa nongol di TV dengan penampilan yang sangat mempesona.

Ketiga, dia harus terus berlatih menjadi seperti apa yang diinginkan pihak produsen dengan diam-diam.

Keempat, waktu tidak dengan mudah mengubah hati orang tua Fani untuk bisa mengubah keputusan.

Dan yang terakhir dia harus terus menjaga nama baik keluarga. Karena sebagai apapun dan dalam keadaan bagaimana pun, keluarga Fani menekankan bahwa jangan sampai merusak kehormatan.

Dengan penuh kesabaran tantangan itu berhasil Fani lalui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun