Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengamen Kecil

23 Agustus 2019   06:30 Diperbarui: 23 Agustus 2019   06:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kadang bersama dengan teman-temannya yang lain, dan kadang pula sendirian. Memandang ikan-ikan yang berenang dengan begitu indahnya di antara aliran air yang dapat membasuh kenangan.

Ibu memutuskan untuk pergi ke dapur. Dapur yang didesain oleh tangan bapak sendiri dengan bahan sederhana dan ala kadarnya. Hanya ada batu, wajan, dan beberapa kayu hasil tebangan bapak di sore hari. Masakan yang paling sering dimunculkan hanya tahu dan tempe goreng. 

Sebab hanya itu yang mampu dibeli dan simple dalam pembuatannya. Dilengkapi dengan sambal terasi yang mampu menggoyang mulut. Maka makan pun akan menjadi sangat nikmat.

Satu jam berlalu.

Bapak akhirnya datang membawa uang seribuan lengkap dengan keringat akibat jalan kaki di siang hari. Daerah jakarta memang akan sangat menyiksa di waktu siang. Cuaca akan membakar kulit hingga masak bahkan gosong. Tapi hal tersebut sudah biasa bagi keluarga Fani, hingga semuanya sudah tak terasa lagi.

Ibu menyambut bapak dengan senyum yang sangat indah. Bapak langsung mengecup kening ibu dengan penuh perasaan. Sungguh moment yang sangat istimewa dimiliki oleh mereka yang sudah resmi menikah atas dasar cinta yang sesungguhnya.

"Fani ke mana dek?" tanya  pada Ibu dengan nada halus.

"Kurang tahu ya pak, jam segini biasanya sudah pulang, paling masih main di sungai," jawab Ibu tak kalah halus.

Sungguh keberanian yang sangat luar biasa dimiliki oleh Bapak dan Ibu yang membiarkan anaknya mandiri di usia yang masih kanak-kanak dan perlu pengawasan ketat dari orang tua. Sungguh karena himpitan ekonomi dan tidak adanya orang atas yang sadar atas kemelaratan mereka membuat semuanya harus seperti itu.

"Ya sudah aku istirahat dulu," kata Bapak yang kemudan berdiri.

Prasangka Ibu salah. Ternyata beliau lebih memilih untuk istirahat dibanding sarapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun