Mohon tunggu...
Kholif Diniawati
Kholif Diniawati Mohon Tunggu... Guru - Guru MAN 3 Bantul

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Book

Sekuat Hati ibu

4 Desember 2023   17:41 Diperbarui: 4 Desember 2023   17:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Engkau tidak pernah tahu, apa yang akan tejadi esok dan esoknya lagi. Yang perlu kau tahu, engkau harus tetap tegar, tegak berdiri saat engkau temui jalan hidup tak seindah yang engkau impikan," kalimat ini senantiasa menggema dalam relung hatiku, ya, kalimat inilah yang senantiasa diucapkan ibuku ketika kami ptra putrinya beranjak dewasa. Ibuku memang wanita sederhana, bukan orang pintar yang mengenyam sekolah sampai tingkat tinggi. Ibuku lulusan SMP, namun ilmu dan kebikaksanaan yang dimiliki melebihi pola piker sarjana dan bahkan professor, menurutku. Kebijakan ibu dalam menghadapi segala tantangan keidupan sungguhlah elok. Nyaris tak pernah kami mendengar keluh kesah ataupun sekadar kecewa dalam menghadai segalan benturan maupun cobaan dalam kehidupan.

Kami 2 bersaudara, dan ibu mendidik kami dengan penuh kasih sayang dan juga segena  perhatian, Ayah kami pegawai swasta yang bukan pejabat , namun sekadar pegawai biasa di sebuah perusahaan swasta, semntara ibuku adalah ibu rumah tangga yang juga bekerja sambilan sbagai tukang jahit baju di rumah.aku anak nomor satu dan sudah bekerja sebagai guru SD, sedangkan adikku , laki laki bekerja sebagai pegawai swasta di sebuah peusahaan BUMN di Yogyakarta. Aku bersuamikan mas Arya dan dikaruniai 2 anak , laki dan perempan, sedangkan adikku belum menikah.

Aku tinggal di rumah suamiku  di Tegal, sementara dikku masih di rumah bersama ibu dan ayah. Kehidupan keluarga kami termasuk sederhana, bahkan ibu dan bapak hanya memiliki 1 motor yang setiap hari digunakan bapak bekerja. Seingatku motor itu satu-satunya yang dimiliki bapak sejak aku masih dduk di bangku SMA. Namun semangat ibu dan bapak untuk memberikan bekap pengetahuan kepada anak-anaknya sungguh uar biasa, hingga kami, aku dan dikku disekolahkan sampai sarjana, meskipun aku tahu pasti, mereka sangat berat dalam mebiayai kami saat itu.

Aku menikah sudah 5 tahun yang lalu dan itu artinya aku telah berpisah riumah dengan orang tuaku sejak itu. Hampir setiap bulan kami mengunjungi mereka diawal pernikahan kami, namun seiring waktu karena kesibukan dan jadwal mengajarku sangat padat, kami hanya bisa mengunjngi mereka dalam libur semsester dan bahkan 1 tahun bisa berkunjung. Saat inipun kami juga belum memiliki waktu untuk berkunjung meskipun rasa ini sangat tidak tahan untuk segera meluncur ke Yogyakrata mengunjungi mereka

"Mas, sudah hamper setahun, kita tidak ke Yogya mengunjungi ibu dan bapak," ujarku suatu sore saat kami sedang menunggu putri kami pulang dari TPA.

"iya ya, dik, tapi tidak apa-apa, kan ibudan bapak baik baik saja. Terbukti setiap kta telpon, mereka memngabarkan baijk baik saj," jawab mas Arya sambil menyapu halaman rumah yang tidak begitu luas.

Memang kuakui suamiku sungguh baik dan rajin membantu pekerjaan rumah. Aku merasa sangat beruntung memilikinya.

"Lha kok malah melamun, sana ambilkan koek ai, biar kubakar sampah ini," tetiba suara mas Arya mengagetkan lamunanku.

Tak berapa lama, putriku , adinda yang bermur 5 tahun pulang dari TPA,

Ayah, ibu, Adinda dating," celotehnya sambil berlari masuk ke halaman.

"Tadi adinda ngajinya sampai iqro jilid 3, kata ustadzahnya, Adinda pinter,", katanya dengan penuh semangat dan membuka buku Iqro nya untuk dilihatkan ayahnya

"Hebat, anak ayah,"

"Anak ibu juga dong,", kataku sambil memberikan korek ke mas Arya.

Sore itu kami ewati bersama putri kami dengan penuh keceriaan.

Menjelang malam, ketika mas Arya dan Adinda sudah tertidur , aku merasa ada yang tidak enak di hati. Entah kenapa, tetiba rasanya pingin menghubungi ibu di Yogya. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 01.00 malam. Terbersit dalam hati, tentu ibu sudah tidur , taku kalau mengganggu. "Ah, pasti tidak ada apa-apa, tentu baik-baik saja. Buktinya ibu tidak menelpon, biasanya kalau ada sesuatu yang terjadi, ibu menelponku," hatiku mencoba menenangkan diri.

Ku coba untuk memejamkan mata disamping mas Arya, namun tetap saja mata ini sulit terpejam. Daeti berganti menit, berindah ke jam , sampai akhirnya jam 2.30 terakhir aku melihat jarum jam di dinding., aku tertidur. Suara alarm jam 3.00 membangnkanku, mata ini masih terasa mengantuk.

"Ya, baru 30 menit aku tertidur, tapi bismillah, aku harus nagun," gumamku dan kulihat mas Arya juga sudah mulai menggeliat pertanda juga mau bangun untuk melasanan sholat malam.

"Mas, aku kok kepikiran ibu dan bapak ya, sampai semalam saja aku bisa tidur jam 02.30 ," ujarku

"ya ditelpon ibu, tentu sudah bangun ibu jam segini," jawab mas Arya dengan mata masih terpejam.

"Nanti sajalh, sertelah sholat tahajut," ujarku

"Tanpa menjawab, mas Arya bangun dan mendahuluiku menuju kamar mandi.

Seusai melksankan tahajut sambil menunggu waktu Subuh, kucoba menghubungi ibu.

Berkali-kali kuhubungi, tetapi taka da jawaban, hanya suara balasan, "telpon yang anda hubungi tidak aktif".

Hatiku semakin tak karuan,, khawatir terjadi apa-apa dengan orang tuaku.

"Mas, bagaimana ini, telpon tidak diangkat, tidak aktif, aku kok jadi khawatir sekali ya mas," ujarku sambil duduk disebelah suamiku yang sedang berdzikir.

"Tenang dik. Bismillah, semoga tidak ada apa-apa. Nanti saja setelah selesai sholat, dan sudah membereskan rumah, kita ke Yogya ya. Didoakan saja, semoga tidak ada apa-apa.," suamiku mencoba menenangkanku.

Kebetulan ini hari Minggu, jadi aku tidak perlu ijin ke sekolah tempatku mengajar. Seusai sholat subuh, aku bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk pulang ke Yogya. Kubangunkan Adinda dan aku siapkan sarapan untukk bekal perjalanan kami,

Kami berangkat dengan berboncengan motor jam 6 pagi dengan membawa perasaan yang sungguh tidak enak. Perjalan kami masih lancer karena memang hari libur dan masih pagi.

Sepanjang jalan, tak henti-hentinya aku berdoa untuk ibu dan bapak di rumah. Sesekali kuajak putriku ikut berdoa untuk kakek dan neneknya. Jalanan memang masih sepi ketika kami keluar dari desa kami. Namun sesampainya di  jalan utama, banyak sekali kendaraan yang lalu lalang.

"Mas, pelan-pelan saja. Hati-hati ," aku mengingatkan mas Arya karena  aku merasakan, mas Arya terlalu cepat mengendarai motornya, sampai tidak bisa menghindari lubang jalan rusak yang kami lewati.

"tenang saja Dik, mas akan membawamu ke jalan yang lurus, yang tidak berlubang-lubang yang nyaman dan penuh kenikmatan," gurauan mas Arya sambil sedikit menoleh ke belaang.

Tapi entanh kenapa, mendengar ucapan mas Arya, justru aku semakin khawatir dan tidak tenang.

Tepat di tikungan yang menjorok, tetiba ada truk pasir dari arah depan yang menyalip truk pasir lainnya yang ada didepannya dan otomatis memakan jalan yang dari arah berlawanan, aku sangat kaget, begitu juga mas Arya, spontan berterikan, allahuakbar, dan aku menjerit sambil berucap Inna Lillahidan semua terasa gelap,

Sayup-sayup kudengar suara orang sedang bercakap-cakap, kucoba membuka mata, namun kenapa terasa begitu perih. Kukumpulkan ingatanku, "apa yang telah terjadi padaku, aku dimana, ada apa denganku ini," pertanyaannitu spontan muncul dalam benakku. Perlahan kucoba mengingat kejadian yang telah kualami. "O ya, aku tadi bertiga sama mas Arya dan Adinda, ya mereka dimana,", sontak aku berusaha bangun dan berteriak, namun bibirku terasa sangat eperih dan aku tak punya daya untuk bangun.

"Tenang bu, tenang dulu, ibu ada di Rumah Sakit, ini ibu sedang kami rawat, untuk menyembuhkan luka ibu," terdengar suara perempuan separh baya, lembut dan sambil mengusap tanganku.

"Coba ibu pelan pulan, buka mata kiri, pelan pelan saja, kalau sakit jangan dipaksa," ujarnya masih dengan nada lembut.

Kucoba menuruti kata-katanya, kubuka mata kiriku perlahan-lahan, dan aku melihat sekeliling ternyata aku ada di sebuah ruang penuh peralatan kedokteran da nada seorang yang berbaju putih, yang menurutku itu dokter serta 2 perempuan yang berseragam abu abu, sepertinya perawat,

"Dokter, anakku, suamiku, dimana?" tak sabar aku mencoba bertanya meskipun ucapanku tidak begitu jelas karena muluku terasa sangat sakit.

"Sabar bu, suami dan putri ibu ada di ruangan yang lain, yang penting ibu sehat dulu, nanti baru kami antar ke ruangan mereka," sekali lagi doter menenangkan ku

Sebenarnya kau masih mau menanyakan lebih banyak lagi, tapi tetiba kepalaku sangat sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi.

Entah sudah berapa lama aku pingan, ketika tetiba tangan yang tidak asing lagi membelai pipiki dan tangan yang lain mengenggam erat jemarriku yang terasa sangat lemah.

"Rahma, putriku, Kau dengar ibu, nduk" sayup kudengar suara yang sangat aku kenal.

Kucoba membuka mata, dan kudapati wajah ibu dan ayahku tepat di hadapanku.  Sontak aku ingin bangkit dan ingin memeluk mereka, namun ternyata ragaku tidak kuat untuk melakukannya, seluruh sendiku terasa sakit.,

"Ibu, Ayah, mana mas Arya, mana Adinda," tak sabar kutanyakan keberadaan dan kondisi mereka.

Kulaht ibu dan ayah ahnya saling berpandangan dan kesedihan jelas tampak di raut mereka.

"Apa yang terjadi, dimana Adinda," aku berteriak tanpa menghiraukan bibirku yang sangat sakit untuk dibuka.

"Mas Arya, ..., Adinda, ..." dimana kalian," sekali lagi aku berteriak dan berusaha untuk bangkit.

Tergopoh-gopoh kulihat dokter memasuki uanganku,

"Tenang bu, ibu jangan banyak gerak dulu, ibu biar sembuh dul," hibur mereka,

"Tidak doter, aku pingin ketemu suami dan anakku sekarang, apapun kondisinya," pintaku sambil menangis.

Mungkin karena aku yang tidak bisa mengendalikan diri dan juga melihat kondisiku yang memang terluka parah, akhirnya ibuku menelukku dan sambil menangis mengatakan kalau mas Arya dan Adinda telah menghadap Allah di tempat kejadian kecelakaan.

Hancur lebur rasa di dada, sakitnya ragaku tak lagi kurasakan, terkalahkan oleh sakit dan sedihnya hati yang teramat dalam. Kebersamaan kami yang baru lima tahun serasa hanya menjadi sebuah kisah sepenggal drama yang dipentaskan. Aku benar-benar hancur dan putus asa, sepertinya taka da lagi yang mampu membuatku bertahan untuk melanjutkan sisa hidup.

Setelah seminggu aku dirawat dengan penuh kesediihan dan duka lara lahir batin, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Ibu membawaku ke Yogya.

"Nduk, masih ingat perkataan ibu, kita tidak tahu jalan hidup kita seperti apa, tapi kita tahu, jalan apa yang kita lalui ketika Allah memberikan rintangan dan halangan dalam kehidupan,"

Perlahan kuresapi dan kupahami kalimat ibu. Benarlah kiranya. Aku harus tetap tegar, aku harus tetap kuat, karena sejatinya kita tinggal menjalani takdirnya. Aku juga tidak pernah mengungkit dan menceritakan kenapa kami pulang ke Yogya saat itu, karena aku tidak ingin ibu dan ayah merasa bersalah.

Saat ini kujalani hidup dengan penuh semangat, kekuatan dan mencoba mengumpulkan amal kebaikan untuk bekam menyusul suami dan putri tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun