Salah satu alasanya, konon akibat kesalahan target. Para kandidat  yang menggunakan jurus politik uang cenderung akan menyasar calon pemilih yang dianggap "tidak loyal" sebagai targetnya. Asumsinya, dengan iming-iming uang  mereka akan memberikan suaranya kepada dirinya. Ternyata asumsi semacam itu belum tentu benar.
Para kandidat atau tim sukses lupa bahwa pemilih yang tidak loyal merupakan kelompok pragmatis, sebagaimana tercermin dari singkatan NPWP.Â
Dari siapapun  duitnya mereka akan terima. Perkara siapa nantinya yang akan mereka pilih, itu urusan di balik kotak suara  saat pencoblosan. Boleh jadi pertimbanganya siapa di antara para kandidat yang dianggap paling besar besaran rupiahnya.
Di sisi lain, jumlah pemilih "loyal", konon jumlahnya tidak lebih dari  15% dari total pemilih. Jenis kelompok ini  menjadi rebutan banyak kandidat sehingga sulit disasar dan diiming-imingi politik uang.
Selain itu, peran tim sukses atau para broker politik sering kali justru memperburuk efektivitas praktik politik uang ini. Broker cenderung membesar-besarkan jumlah pemilih loyal demi mendapatkan lebih banyak uang dari kandidat.Â
Bahkan, beberapa broker nyambi bekerja untuk beberapa kandidat sekaligus, termasuk dari partai politik yang berbeda, sehingga memungkinkan pembelotan suara yang signifikan.
Syahwat Politik dan Dinamika Sosial
Tingginya tensi politik juga dipicu oleh campur tangan sejumlah tokoh nasional  yang turun gunung. Seperti diinformasikan media dalam Pilkada serentak 2024 ini  mantan Presiden Jokowi dan Presiden Prabowo yang terang-terangan menunjukkan dukungan terhadap pasangan sejumlah pasangan Cagub, Cagup atau Cawalkot yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Sikap kurang terpuji tersebut tentunya sangat tidak elok dan bisa memperburuk citra keduanya  yang mengklaim diri sebagai guru bangsa. Selain juga kiprah tidak terpuji tersebut telah memicu terjadinya polarisasi ketimbang meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada.
Meskipun praktik politik uang sudah mengakar, upaya untuk mengurangi dampaknya harus tetap dilakukan. Salah satu langkah penting adalah penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima.Â
Undang-Undang Pemilu yang menetapkan denda hingga Rp48 juta dan hukuman empat tahun penjara bagi pelaku politik uang perlu diterapkan secara konsisten untuk memberikan efek jera.