Pada 27 Nopember 2024 nanti,  Pilkada serentak akan digelar  pada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Perhelatan ini akan diikuti sebanyak 1.553 pasangan calon.Â
Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.500 pasangan diusung oleh partai politik atau gabungan partai, sedangkan  53 pasangan lainnya maju secara independen.
Sebagai salah satu pilar penting demokrasi, Pilkada seharusnya menjadi momen bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin daerah yang mampu membawa perubahan positif.Â
Namun, menjelang pelaksanaannya yang hanya tinggal beberapa hari mendatang, berbagai dinamika yang muncul justru menunjukkan tantangan serius terhadap nilai-nilai demokrasi.
Mulai dari rendahnya tingkat kepedulian masyarakat hingga maraknya isu praktik politik uang alias money politics. Berbagai hambatan tersebut tenya berpotensi mengaburkan tujuan utama Pilkada sebagai sarana untuk mewujudkan kepemimpinan yang berintegritas dan demokratis.
Pantauan subjektif menunjukkan agaknya  antusiasme masyarakat terhadap Pilkada serentak cenderung rendah. Banyak indikator yang menguatkan fenomena ini, seperti minimnya partisipasi dalam diskusi politik di tingkat lokal, rendahnya kehadiran dalam kampanye terbuka, dan dominasi sikap apatis yang terlihat di berbagai platform media sosial.Â
Kondisi tersebut  menjadi alarm serius bagi demokrasi Indonesia, yang seharusnya didukung oleh partisipasi aktif masyarakat dalam memilih pemimpin daerah.
Sebagian masyarakat telah menganggap Pilkada tidak lagi relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Keterpurukan ekonomi yang masih dirasakan setelah pandemi Covid-19 dan maraknya PHK menjadi alasan utama mengapa fokus masyarakat lebih tertuju pada upaya bertahan hidup daripada terlibat dalam perhelatan politik.Â
Sayangnya, apatisme ini menciptakan ruang yang lebih luas bagi praktik-praktik politik uang yang tetap marak terjadi.
Maraknya Politik Uang
Meski dianggap ilegal dan tabu, praktik politik uang dalam bentuk jual beli suara dalam setiap perhelatan Pilkada terus merajalela di Indonesia, khususnya pasca reformasi.Â
Sudah bukan hal tabu jika para kandidat yang bertarung dalam Pilkada sering kali secara terbuka mendiskusikan strategi membagikan uang kepada pemilih.
Merujuk data hasil penelitian Burhanudin Muhtadi, pada Pemilu 2014  sebanyak  33% pemilih mengaku ditawari uang atau barang untuk memilih kandidat tertentu.Â
Ini berarti hampir 62 juta dari 187 juta pemilih saat itu menjadi target praktik jual beli suara. Artinya, satu dari tiga calon pemilih mengaku dirinya terpapar politik uang.
Sedangkan merujuk temuan Bawaslu, pada masa tenang Pemilu 2019 (14 April -- 16 April 2019), terdapat 25 kasus politik uang di 25 kabupaten/kota yang dilakukan oleh peserta pemilu dan tim pemenangannya yang tersebar di 13 provinsi di seluruh Indonesia.Â
Provinsi dengan kasus terbanyak adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara dengan masing-masing lima kasus. Barang bukti politik uang yang ditemukan beragam jenisnya, mulai dari uang tunai, deterjen, hingga sembako.
Besarnya data tersebut  menjadi fakta yang memiriskan, karena  betapa kuatnya cengkeraman jurus praktik politik uang  dalam sistem demokrasi Indonesia.Â
Konon fakta tersebut menurut Burhanudin Muhtadi telah menempatkan rekor Indonesia pada posisi ketiga di dunia dalam hal politik uang, setelah Uganda dan Benin.Â
Dari fenomena tersebut juga telah melahirkan berbagai istilah plesetan. Misalnya, Â NPWP (Nomer Piro, Wani Piro) dan singkatan 'Golput' Â yang berubah menjadi "golongan penerima uang tunai."
Meskipun praktik politik uang spekrumnya sangat meluas, namun ternyata dampaknya terhadap hasil pemilu konon relatif kecil. Merujuk pada hasil penelitian Burhanudin Muhtadi, ternyata hanya sekira 11% saja masyarakat yang suaranya dapat dibeli oleh  modus  politik uang ini.
Salah satu alasanya, konon akibat kesalahan target. Para kandidat  yang menggunakan jurus politik uang cenderung akan menyasar calon pemilih yang dianggap "tidak loyal" sebagai targetnya. Asumsinya, dengan iming-iming uang  mereka akan memberikan suaranya kepada dirinya. Ternyata asumsi semacam itu belum tentu benar.
Para kandidat atau tim sukses lupa bahwa pemilih yang tidak loyal merupakan kelompok pragmatis, sebagaimana tercermin dari singkatan NPWP.Â
Dari siapapun  duitnya mereka akan terima. Perkara siapa nantinya yang akan mereka pilih, itu urusan di balik kotak suara  saat pencoblosan. Boleh jadi pertimbanganya siapa di antara para kandidat yang dianggap paling besar besaran rupiahnya.
Di sisi lain, jumlah pemilih "loyal", konon jumlahnya tidak lebih dari  15% dari total pemilih. Jenis kelompok ini  menjadi rebutan banyak kandidat sehingga sulit disasar dan diiming-imingi politik uang.
Selain itu, peran tim sukses atau para broker politik sering kali justru memperburuk efektivitas praktik politik uang ini. Broker cenderung membesar-besarkan jumlah pemilih loyal demi mendapatkan lebih banyak uang dari kandidat.Â
Bahkan, beberapa broker nyambi bekerja untuk beberapa kandidat sekaligus, termasuk dari partai politik yang berbeda, sehingga memungkinkan pembelotan suara yang signifikan.
Syahwat Politik dan Dinamika Sosial
Tingginya tensi politik juga dipicu oleh campur tangan sejumlah tokoh nasional  yang turun gunung. Seperti diinformasikan media dalam Pilkada serentak 2024 ini  mantan Presiden Jokowi dan Presiden Prabowo yang terang-terangan menunjukkan dukungan terhadap pasangan sejumlah pasangan Cagub, Cagup atau Cawalkot yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Sikap kurang terpuji tersebut tentunya sangat tidak elok dan bisa memperburuk citra keduanya  yang mengklaim diri sebagai guru bangsa. Selain juga kiprah tidak terpuji tersebut telah memicu terjadinya polarisasi ketimbang meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada.
Meskipun praktik politik uang sudah mengakar, upaya untuk mengurangi dampaknya harus tetap dilakukan. Salah satu langkah penting adalah penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima.Â
Undang-Undang Pemilu yang menetapkan denda hingga Rp48 juta dan hukuman empat tahun penjara bagi pelaku politik uang perlu diterapkan secara konsisten untuk memberikan efek jera.
Selain itu, penguatan norma sosial dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih secara independen harus terus digalakkan. Pendidikan politik yang menekankan nilai-nilai demokrasi dan integritas dapat menjadi langkah jangka panjang untuk mengubah budaya politik uang di Indonesia.
Pilkada serentak sejatinya merupakan momen penting bagi demokrasi Indonesia. Namun, rendahnya kepedulian masyarakat dan maraknya politik uang menjadi tantangan serius yang mengancam kualitas pemilu.
Meskipun dampak politik uang terhadap hasil pemilu tergolong kecil, praktik ini tetap mencederai esensi demokrasi. Oleh karena itu, penegakan hukum yang ketat, pendidikan politik, dan perubahan budaya masyarakat menjadi kunci untuk membangun sistem pemilu yang lebih bersih dan adil.Â
Dengan langkah-langkah ini, kita semua berharap Pilkada dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan pemimpin yang benar-benar lahir dari aspirasi rakyat, bukan dari kekuatan uang.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI