Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesan untuk Jokowi: Hentikan "Ngobong" Pilih "Ngalah" Agar Husnul Khotimah

8 Februari 2024   08:09 Diperbarui: 8 Februari 2024   08:09 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Topik: Saat Jokowi Marah-marah (cnbcindonesia.com) 

Dalam budaya Jawa, terdapat konsep psikologis menghadapi kemarahan yang dikenal dengan istilah "Ngalah, Ngalih, Ngomong, Ngobong." Ini merujuk pada tahapan bijak dalam mengelola kemarahan. 

Pertama, "Ngalah" berarti menahan diri dari bereaksi secara impulsif. Kedua, "ngalih" adalah proses meredakan kemarahan secara internal. Ketiga, "ngomong" adalah berbicara secara bijak setelah kemarahan mereda. Terakhir, "ngobong" adalah membahas masalah dengan penuh pengertian dan kesepakatan. Konsep ini merupakan bagian dari nilai-nilai budaya Jawa yang menekankan pentingnya pengendalian diri dan penyelesaian konflik dengan damai.

Sesungguhnya prinsip ngalah, ngalih, ngomong, ngobong tidak hanya relevan bagi masyarakat Jawa, tetapi juga dapat diterapkan oleh seluruh masyarakat pada umumnya. 

Tahapan-tahapan ini mencerminkan pendekatan yang bijaksana dalam mengelola kemarahan dengan menekankan pengendalian diri, refleksi, komunikasi terbuka, dan penyelesaian konflik yang damai. 

Prinsip ini mempromosikan keharmonisan dan keselarasan dalam hubungan antarindividu serta mendorong pembentukan masyarakat yang lebih sejahtera dan beradab. 

Dengan menerapkan prinsip ini, setiap individu dapat mengelola konflik dengan lebih baik dan berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih positif dan harmonis.

Menurut Eep Saefulloh Fatah, Direktur lembaga survei Polmark Indonesia, saat ini Presiden Jokowi diindikasikan sedang dalam posisi ngobong atau sedang menunjukkan kemarahannya di tingkat tertinggi. Hal ini merujuk pada prinsip melawan dalam empat tahapan yang disampaikan oleh Jokowi sendiri kepada Eep pada tahun 2012, yang merupakan pendekatan yang umum di kalangan orang Solo. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Eep dalam talkshow Kumparan, Info A1, yang tayang pada Jumat (2/2/2024).

 

Pemicu Internal 

Jika kita sepakat dengan analisis Eep Saefulloh Fatah, tentu ada sejumlah faktor, baik internal maupun eksternal, yang diduga membuat Presiden Jokowi tersebut. 

Secara internal misalnya, salah satunya adalah perlakuan Ketua Umum PDIP Megawati, yang beberapa kali menyebutkan Jokowi hanya sebagai "petugas partai" dalam forum resmi dengan ribuan kader partai. Megawati bahkan terkesan melecehkan dengan menyatakan bahwa tanpa PDIP, Jokowi tidak akan mencapai puncak karir politiknya sebagai presiden.

Perlakuan Megawati tersebut bukan hanya telah membuat Jokowi tersinggung, tetapi juga istri dan anak-anaknya, karena merendahkan marwah dan harga diri mereka. 

Meskipun faktanya benar, ucapan tersebut dianggap sebagai pelecehan tingkat tinggi oleh banyak pihak. Atas dasar ketersinggungan tingkat tinggi inilah yang telah membuat Jokowi  nekad membangun dinasti politik: menjadikan Gibran menjadi Walikota Solo yang kemudian menjadi Cawapres Prabowo Subianto, Kaesang sebagai Ketua Umum PSI, dan menantunya Boby Nasution sebagai Walikota Medan, meskipun usia mereka masih muda dan minim pengalaman.

Faktor internal kedua yang telah membuat Jokowi ngobong adalah kasus ijazah palsu  SMA dan insinyur kehutanannya  dari UGM. Ijazah palsu ini, yang merupakan bukti kompetensi akademik, saat ini secara resmi diajukan ke pengadilan oleh sekelompok pengacara dan menjadi viral. 

Kasus ini sudah barang tentu merupakan aib tingkat tinggi bagi Jokowi dan keluarganya, apalagi memiliki peluang besar untuk dimenangkan oleh penggugat. Kenyataan ini merupakan sumber malu besar bagi Jokowi dan wajar jika mengakibatkan ngobong dalam dirinya.

Pemicu Eksternal 

Adapun faktor eksternal  yang telah membuat Jokowi ngobong sedikitnya ada dua. Pertama, dipicu akibat proyek pembangunan IKN (Ibukota Negara) yang diharapkan akan menjadi "gong" dari warisan infrastruktur Jokowi ternyata malah sebaliknya. Proyek ini seharusnya menjadi tonggak dari warisan infrastruktur yang telah dibangun secara besar-besaran selama 10 tahun terakhir. Namun, proyek ini mendapat kritik luas dari berbagai pihak, termasuk lawan politiknya.

Pembangunan IKN awalnya diharapkan dapat menarik investasi dari luar negeri, namun kenyataannya tidak terbukti. Hampir tidak ada investor asing yang menyumbangkan dananya, dan proyek ini justru menyerap APBN. Selain itu, pembangunan IKN dianggap tidak melibatkan proses demokratis dan mencabut hak masyarakat yang terdampak. Kegagalan proyek ini, ditambah dengan kritik terhadap pembangunan IKN, dapat memicu kekecewaan dan kemarahan Jokowi.

Faktor kedua, upaya Jokowi mengawal putra kesayangannya, Gibran Rakabuming Raka, dengan berbagai modusnya (ikut cawe-cawe, menggunakan tangan adik iparnya Anwar Usman dan menggelontorkan dana Bansos jor-joran) ternyata juga mendapat sentimen negatif dari publik.

Aksi-aksi nepotisme Jokowi  mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak. Termasuk saat menjelang hari pencoblosan gelombang protes dari dunia kampus terus bergelombang. Pada tahun terakhirnya menjabat sebagai presiden, Jokowi mendapat "peringatan keras" dari para akademisi, mahasiswa, hingga ekonom lantaran dituding mengintervensi konstitusi dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai presiden demi memuluskan langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilu 2024.

Begitu pula fakta-fakta situasi menjelang hari H Pilpres yang menunjukkan merosot tajamnya Capres jagoan Jokowi Prabowo Subianto di mata publik semakin membuat Jokowi dilanda resah-gelisah. Sebagai orang yang pernah dua kali ,engikuti dua kali kontestasi Pilpres dan memenangkannya, sudah barang tentu "mata hati Jokowi" sangatlah tajam membaca fakta tersebut. Semua hal tersebut dapat dipahami jika telah membuat Jokowi kembali ngobong.

 

Pilih Ngalah agar Husnul Khotimah

Masyarakat tentu menyesalkan jika Jokowi mengambil tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Betatapun ngobongnya Jokowi harus  tetap mematuhi hukum, menjaga integritas sebagai presiden yang benar, serta memperhatikan kepentingan rakyat dan negara.

Pemilu bukan hanya tentang Kaesang dan Gibran, tetapi juga tentang keutuhan NKRI dan kehidupan demokrasi. Jika tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Jokowi membahayakan keutuhan negara dan demokrasi, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, sementara penting untuk mengungkapkan ketidakpuasan terhadap praktik politik yang tidak etis, juga penting untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak merusak keutuhan negara dan demokrasi.

Sebagai seorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang budaya Jawa, Jokowi seharusnya memahami nilai-nilai seperti "ngalah" yang menekankan pentingnya pengendalian diri, kesederhanaan, dan keterbukaan terhadap masukan dari orang lain. Jika Jokowi mampu menurunkan ego dan mendengarkan aspirasi serta kritik dari rakyat dengan hati terbuka, hasilnya mungkin akan sangat baik. Dia bisa dikenang sebagai seorang presiden yang bijaksana, responsif, dan peduli terhadap kepentingan rakyat.

Selain itu yang juga penting, kemungkinan Jokowi memperbaiki hubungan antara pemerintah dan masyarakat akan meningkat, serta membawa dampak positif bagi pembangunan dan kemajuan negara secara keseluruhan. Ayo Jokowi, jika Anda mau pasti Anda bisa. Insya Allah Anda akan bisa meraih  husnul khotimah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun