Keesokan harinya, Balai Kota tampak seperti benteng yang tak tertembus. Polisi berjaga di depan pintu, wajah mereka dingin tanpa ekspresi. Arif memimpin langkah dengan percaya diri. Lian mengikutinya, tangannya menggenggam erat map berisi petisi.
"Kami ingin bertemu dengan pejabat yang berwenang," kata Arif lantang kepada seorang petugas.
"Ada janji?" tanya petugas itu tanpa minat.
"Tidak, tapi kami punya hak untuk menyampaikan suara kami!"
Petugas itu hanya menggeleng. "Tidak ada janji, tidak ada pertemuan. Silakan pulang."
"Kami nggak akan pergi sampai ada yang mau mendengarkan kami!" seru Arif, suaranya menggema di lorong marmer Balai Kota.
Lian merasakan ketegangan yang merambat di udara. Para polisi mulai bergerak mendekat. Namun, sebelum mereka sempat bertindak, seorang pria dengan jas mahal dan dasi yang tampak seperti simbol kekuasaan muncul dari balik pintu besar.
"Ada apa ini?" tanyanya, suaranya rendah tapi penuh wibawa.
Arif melangkah maju. "Kami hanya ingin menyerahkan petisi ini, Pak. Kami hanya ingin keadilan bagi komunitas kami."
Pria itu mengambil map dari tangan Arif. Ia membacanya dengan alis yang sedikit terangkat. "Kalian tahu ini tidak mudah, bukan? Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan."
"Kami tidak minta lebih, Pak," kata Lian, suaranya gemetar tapi tegas. "Kami hanya ingin hak kami dihormati, seperti warga negara lain."