OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit malam di kota itu menggantung rendah, seperti selimut berat yang menekan jiwa. Lian, seorang gadis muda dengan rambut sebahu yang acak-acakan, duduk di sudut warung kopi kecil. Di depannya, secangkir kopi hitam yang sudah dingin hanya menjadi saksi bisu kegundahannya.
"Kamu tahu nggak, Lian?" tanya Arif, sahabatnya, dengan nada gusar. "Berapa banyak orang yang nggak tahu bahwa hidup kita ini seperti menghitung kerikil di jalanan? Selalu kurang dihitung, selalu dianggap remeh."
Lian menghela napas panjang. "Aku tahu, Rif. Kita ini seperti bayangan. Ada tapi nggak dilihat."
Arif mengetuk meja dengan jemarinya yang kurus. "Tapi bayangan juga bisa menjerit. Dan kali ini, kita harus bikin mereka dengar!"
Lian menatap mata Arif yang berkobar. Di balik tubuh kurus itu, ada kekuatan yang membuat Lian selalu merasa malu atas keraguannya sendiri. Namun, kenyataan yang mereka hadapi terlalu kejam untuk diabaikan. Mereka adalah anak-anak dari sebuah komunitas kecil di pinggiran kota, yang sering dianggap tidak penting. Korban dari kebijakan yang selalu melewati mereka, seperti angin yang hanya menyentuh tanpa pernah benar-benar ada.
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Lian akhirnya.
Arif tersenyum tipis. "Besok, kita ke Balai Kota. Kita serahkan petisi ini. Kita akan bicara langsung dengan mereka."
Lian terdiam. Petisi itu adalah hasil kerja keras mereka selama berminggu-minggu. Mengumpulkan tanda tangan dari orang-orang yang sering diabaikan: pedagang kecil, buruh kasar, ibu rumah tangga yang hanya bisa berbicara dalam bahasa daerah. Mereka semua punya cerita yang sama --- hak yang dilupakan, kewajiban yang tetap harus mereka penuhi.
**
Keesokan harinya, Balai Kota tampak seperti benteng yang tak tertembus. Polisi berjaga di depan pintu, wajah mereka dingin tanpa ekspresi. Arif memimpin langkah dengan percaya diri. Lian mengikutinya, tangannya menggenggam erat map berisi petisi.
"Kami ingin bertemu dengan pejabat yang berwenang," kata Arif lantang kepada seorang petugas.
"Ada janji?" tanya petugas itu tanpa minat.
"Tidak, tapi kami punya hak untuk menyampaikan suara kami!"
Petugas itu hanya menggeleng. "Tidak ada janji, tidak ada pertemuan. Silakan pulang."
"Kami nggak akan pergi sampai ada yang mau mendengarkan kami!" seru Arif, suaranya menggema di lorong marmer Balai Kota.
Lian merasakan ketegangan yang merambat di udara. Para polisi mulai bergerak mendekat. Namun, sebelum mereka sempat bertindak, seorang pria dengan jas mahal dan dasi yang tampak seperti simbol kekuasaan muncul dari balik pintu besar.
"Ada apa ini?" tanyanya, suaranya rendah tapi penuh wibawa.
Arif melangkah maju. "Kami hanya ingin menyerahkan petisi ini, Pak. Kami hanya ingin keadilan bagi komunitas kami."
Pria itu mengambil map dari tangan Arif. Ia membacanya dengan alis yang sedikit terangkat. "Kalian tahu ini tidak mudah, bukan? Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan."
"Kami tidak minta lebih, Pak," kata Lian, suaranya gemetar tapi tegas. "Kami hanya ingin hak kami dihormati, seperti warga negara lain."
Pria itu menatap mereka lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Saya akan melihat apa yang bisa saya lakukan. Tapi jangan terlalu berharap."
Mereka berdua keluar dari Balai Kota dengan hati yang campur aduk. Di satu sisi, mereka merasa telah menyampaikan suara mereka. Di sisi lain, kata-kata pria itu seperti janji kosong yang sudah terlalu sering mereka dengar.
**
Tiga minggu kemudian, berita itu datang seperti badai. Petisi mereka telah menjadi bahan diskusi di tingkat nasional. Namun, alih-alih mendapat dukungan, komunitas mereka justru menjadi sasaran kritik dan cemoohan. Banyak yang mengatakan mereka hanya ingin perhatian, bahwa mereka tidak berhak menuntut apa pun.
Arif tidak menyerah. Ia terus mengorganisir komunitas mereka, berjuang untuk keadilan yang terasa semakin jauh dari genggaman. Setiap malam, ia mendatangi rumah-rumah warga, mendengar keluhan mereka, dan menguatkan harapan yang nyaris padam. Namun, Lian mulai merasakan keraguan yang semakin membebani.
"Apa ini semua ada gunanya, Rif?" tanyanya suatu malam, matanya menatap api kecil yang membakar di tungku. "Kita seperti berteriak di tengah badai. Tidak ada yang mendengar."
Arif menatapnya dengan mata yang lelah tapi tetap penuh tekad. "Kita tidak pernah sendiri, Lian. Apa pun yang mereka katakan, kita tetap punya hak yang sama. Jika kita menyerah, siapa lagi yang akan berbicara untuk mereka?"
Malam itu, Lian memutuskan untuk tetap berdiri di sisi Arif, meskipun hatinya masih diliputi keraguan.
Namun, perjuangan itu akhirnya membawa mereka ke batas yang tak terduga. Pada suatu pagi yang kelabu, tubuh Arif ditemukan di sebuah gang sempit, dikelilingi oleh coretan graffiti yang penuh kebencian. Luka di tubuhnya menjadi saksi kebencian yang tak terucapkan.
Lian berdiri di depan jenazah sahabatnya, air mata mengalir tanpa henti. Dalam hatinya, kilasan percakapan terakhir mereka terus terulang.
"Kita tidak pernah sendiri, Lian," bisik kenangan Arif di benaknya.
Dengan tangan gemetar, Lian mengambil map petisi yang pernah mereka buat bersama. Ia berdiri tegak di tengah kerumunan yang sunyi, suara hatinya menggema seperti genderang perang.
Dalam hati, ia bersumpah untuk melanjutkan perjuangan Arif, meskipun dunia tampak seperti neraka yang tak pernah mengenal keadilan.
Karena Arif benar; mereka tidak pernah sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H