Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam di Balik Asa

18 Desember 2024   18:31 Diperbarui: 18 Desember 2024   18:31 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Malam di Balik Asa. dokpri

Pria itu menatap mereka lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Saya akan melihat apa yang bisa saya lakukan. Tapi jangan terlalu berharap."

Mereka berdua keluar dari Balai Kota dengan hati yang campur aduk. Di satu sisi, mereka merasa telah menyampaikan suara mereka. Di sisi lain, kata-kata pria itu seperti janji kosong yang sudah terlalu sering mereka dengar.

**

Tiga minggu kemudian, berita itu datang seperti badai. Petisi mereka telah menjadi bahan diskusi di tingkat nasional. Namun, alih-alih mendapat dukungan, komunitas mereka justru menjadi sasaran kritik dan cemoohan. Banyak yang mengatakan mereka hanya ingin perhatian, bahwa mereka tidak berhak menuntut apa pun.

Arif tidak menyerah. Ia terus mengorganisir komunitas mereka, berjuang untuk keadilan yang terasa semakin jauh dari genggaman. Setiap malam, ia mendatangi rumah-rumah warga, mendengar keluhan mereka, dan menguatkan harapan yang nyaris padam. Namun, Lian mulai merasakan keraguan yang semakin membebani.

"Apa ini semua ada gunanya, Rif?" tanyanya suatu malam, matanya menatap api kecil yang membakar di tungku. "Kita seperti berteriak di tengah badai. Tidak ada yang mendengar."

Arif menatapnya dengan mata yang lelah tapi tetap penuh tekad. "Kita tidak pernah sendiri, Lian. Apa pun yang mereka katakan, kita tetap punya hak yang sama. Jika kita menyerah, siapa lagi yang akan berbicara untuk mereka?"

Malam itu, Lian memutuskan untuk tetap berdiri di sisi Arif, meskipun hatinya masih diliputi keraguan.

Namun, perjuangan itu akhirnya membawa mereka ke batas yang tak terduga. Pada suatu pagi yang kelabu, tubuh Arif ditemukan di sebuah gang sempit, dikelilingi oleh coretan graffiti yang penuh kebencian. Luka di tubuhnya menjadi saksi kebencian yang tak terucapkan.

Lian berdiri di depan jenazah sahabatnya, air mata mengalir tanpa henti. Dalam hatinya, kilasan percakapan terakhir mereka terus terulang.

"Kita tidak pernah sendiri, Lian," bisik kenangan Arif di benaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun