Pria itu menatap mereka lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Saya akan melihat apa yang bisa saya lakukan. Tapi jangan terlalu berharap."
Mereka berdua keluar dari Balai Kota dengan hati yang campur aduk. Di satu sisi, mereka merasa telah menyampaikan suara mereka. Di sisi lain, kata-kata pria itu seperti janji kosong yang sudah terlalu sering mereka dengar.
**
Tiga minggu kemudian, berita itu datang seperti badai. Petisi mereka telah menjadi bahan diskusi di tingkat nasional. Namun, alih-alih mendapat dukungan, komunitas mereka justru menjadi sasaran kritik dan cemoohan. Banyak yang mengatakan mereka hanya ingin perhatian, bahwa mereka tidak berhak menuntut apa pun.
Arif tidak menyerah. Ia terus mengorganisir komunitas mereka, berjuang untuk keadilan yang terasa semakin jauh dari genggaman. Setiap malam, ia mendatangi rumah-rumah warga, mendengar keluhan mereka, dan menguatkan harapan yang nyaris padam. Namun, Lian mulai merasakan keraguan yang semakin membebani.
"Apa ini semua ada gunanya, Rif?" tanyanya suatu malam, matanya menatap api kecil yang membakar di tungku. "Kita seperti berteriak di tengah badai. Tidak ada yang mendengar."
Arif menatapnya dengan mata yang lelah tapi tetap penuh tekad. "Kita tidak pernah sendiri, Lian. Apa pun yang mereka katakan, kita tetap punya hak yang sama. Jika kita menyerah, siapa lagi yang akan berbicara untuk mereka?"
Malam itu, Lian memutuskan untuk tetap berdiri di sisi Arif, meskipun hatinya masih diliputi keraguan.
Namun, perjuangan itu akhirnya membawa mereka ke batas yang tak terduga. Pada suatu pagi yang kelabu, tubuh Arif ditemukan di sebuah gang sempit, dikelilingi oleh coretan graffiti yang penuh kebencian. Luka di tubuhnya menjadi saksi kebencian yang tak terucapkan.
Lian berdiri di depan jenazah sahabatnya, air mata mengalir tanpa henti. Dalam hatinya, kilasan percakapan terakhir mereka terus terulang.
"Kita tidak pernah sendiri, Lian," bisik kenangan Arif di benaknya.