OLEH: Khoeri Abdul Muid
(Desember 1946 -- Februari 1947)
Malam itu gelap pekat di atas langit Makassar. Bulan tersembunyi di balik gumpalan awan, seakan-akan turut bersembunyi dari kengerian yang tengah mengintai. Seperti bayang-bayang yang tak berujung, pasukan bersenjata bergerak dengan senyap melalui lorong-lorong kecil kota. Mereka datang tanpa aba-aba, tanpa salam, hanya dengan senjata yang berkilauan di bawah sinar obor.
Kapten Raymond Westerling memimpin langsung operasi ini, pasukannya bergerak bak hantu yang datang untuk membunuh. Operasi ini diberi nama "Operatie Kraai"---sebuah nama yang terdengar sederhana namun penuh makna kejam. Mereka berangkat dengan misi yang jelas: membungkam perlawanan rakyat dengan ketakutan, kekerasan, dan pembunuhan.
Dan tak ada yang bisa mencegahnya.
Di sebuah desa kecil yang terletak di pegunungan Sulawesi Selatan, warga sedang beristirahat setelah sehari bekerja di ladang. Seorang pria tua bernama Haji Rahmat sedang memeriksa kelengkeng yang ia tanam di kebunnya, sementara anak-anak berlarian di halaman rumahnya. Keadaan tampak damai. Namun, ketenangan ini hanya sebentar.
Suara langkah keras mulai terdengar dari jauh---tentara datang.
Haji Rahmat memutar tubuhnya dengan cepat. Hatinya berdebar. Pasukan bersenjata dengan pakaian cokelat kekuningan mulai mendekat dengan langkah penuh semangat.
"Cepat! Semua masuk rumah!" seru Haji Rahmat dengan suara bergetar.
Warga berlarian, merunduk, mencari tempat aman di balik pohon dan di dalam rumah. Namun sudah terlambat. Pasukan Westerling dan tentaranya sudah mengamuk, senjata mereka berpesta tanpa pandang bulu.
Tiba-tiba, ledakan meruntuhkan sebuah rumah di pinggir desa. Haji Rahmat dan beberapa warga mencoba bersembunyi di bawah tanah, namun mereka tak bisa lari dari kematian yang datang dengan cepat.
"Semua keluar! Cepat!" terdengar teriakan.
Tangan-tangan kasar membongkar rumah, menarik wanita dan anak-anak keluar tanpa empati. Tak lama setelah itu, suara tembakan meremukkan jantung mereka.
Haji Rahmat merunduk di bawah tanah, mendengar suara-suara teriakan yang semakin lama semakin memudar. Jantungnya berdebar, tangan gemetar, tak mampu menerima kenyataan.
"Apakah ini akhir kami?" gumamnya.
Di markas kecilnya, Westerling berdiri memeriksa peta dengan ekspresi dingin di wajahnya. Di sampingnya, beberapa perwira memantau laporan yang masuk. Suara-suara dari medan operasi terdengar samar melalui radio.
"Laporan menunjukkan perlawanan semakin melemah. Namun, kita perlu dorongan lebih lanjut untuk memastikan mereka menyerah total," ujar salah satu perwira.
Westerling memutar kursi ke arah mereka dengan tatapan tajam.
"Lebih banyak darah berarti mereka akan lebih patuh. Ketakutan adalah bahasa mereka. Jika mereka takut, mereka akan tunduk."
Suara pasukannya di lapangan terdengar dari radio---teriakan, tembakan, dan tangisan yang saling bersahutan.
"Teruskan operasi," kata Westerling dengan suara rendah dan dingin. "Kita akan buat mereka tahu bahwa kekerasan adalah harga yang harus mereka bayar jika terus melawan kita."
Perwira itu tidak berkata apa-apa. Mereka tahu apa maksud Westerling. Tapi ketahuilah bahwa setiap tindakan ini bukan lagi operasi militer---ini adalah pembantaian.
Di salah satu desa yang porak-poranda akibat Operatie Kraai, sekelompok warga memutuskan untuk melawan. Tokoh tua yang mereka hormati, Haji Rahmat, berdiri dengan tangan bergetar sambil memegang parang. Di sebelahnya berdiri para pemimpin desa dengan wajah bersemangat tetapi penuh ketakutan.
"Kita punya pilihan, saudara-saudara," ujar Haji Rahmat dengan suara bergetar. "Kita bisa terus hidup dalam ketakutan, atau kita bisa melawan untuk membuktikan bahwa kita tak mudah tunduk pada teror ini!"
Mereka berdiri dalam lingkaran kecil, beberapa memiliki senjata sederhana---parang, tombak, dan senapan tua.
Amir, salah satu pemuda yang paling bersemangat, berteriak, "Kita tak bisa terus bersembunyi seperti ini! Mereka membunuh anak-anak kita, merampas rumah kita! Ini saatnya kita bangkit!"
Tapi beberapa pemimpin lain memandang penuh keraguan. Haji Rahmat memandang mereka.
"Senjata kita kecil, kekuatan kita lemah dibanding mereka. Tapi semangat kita tak akan bisa mereka padamkan dengan peluru mereka," ujarnya.
Ada ketegangan yang menggigit hati mereka semua. Namun, sebelum mereka bisa memutuskan, suara langkah kaki pasukan tentara datang dari kejauhan.
"Tunggu! Mereka datang!" salah satu pemimpin berteriak.
Pertarungan pun dimulai. Mereka menyerang dengan semangat yang hampir tanpa harapan, melawan pasukan yang dilengkapi senjata canggih dan strategi yang tak tergoyahkan.
Perjuangan itu singkat---terlalu singkat untuk membangun harapan. Pasukan Westerling menghancurkan rumah-rumah lagi, membantai setiap jiwa tanpa ampun. Dengan senjata otomatis yang memuntahkan kematian, mereka mengakhiri perlawanan itu dalam waktu satu malam.
Haji Rahmat terbaring di sebuah selokan, darah mengalir dari lukanya. Wajahnya menatap langit, seakan-akan memohon pada keadilan yang tak pernah datang.
Tiba-tiba, seorang tentara datang kepadanya. Dengan senyum dingin, ia mengacungkan senjata tepat di hadapan wajah Haji Rahmat.
"Selamat tinggal, tua. Ketakutanmu tak berarti apa-apa lagi sekarang," ujarnya.
Ledakan tembakan.
Haji Rahmat terbaring dalam senyap. Matanya masih menatap langit yang kini berwarna merah.
Raymond Westerling berdiri di atas bukit sambil melihat jejak-jejak kehancuran yang ditinggalkan pasukannya. Senyuman kecil muncul di bibirnya.
"Ini kemenangan," bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun, di balik setiap kata dan senyum itu, suara tangisan rakyat yang lenyap masih bergema dalam hati mereka yang mendengar.
Kekejaman ini adalah akhir dari sebuah operasi, tetapi jejaknya tak akan pernah hilang dari sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H