Haji Rahmat terbaring di sebuah selokan, darah mengalir dari lukanya. Wajahnya menatap langit, seakan-akan memohon pada keadilan yang tak pernah datang.
Tiba-tiba, seorang tentara datang kepadanya. Dengan senyum dingin, ia mengacungkan senjata tepat di hadapan wajah Haji Rahmat.
"Selamat tinggal, tua. Ketakutanmu tak berarti apa-apa lagi sekarang," ujarnya.
Ledakan tembakan.
Haji Rahmat terbaring dalam senyap. Matanya masih menatap langit yang kini berwarna merah.
Raymond Westerling berdiri di atas bukit sambil melihat jejak-jejak kehancuran yang ditinggalkan pasukannya. Senyuman kecil muncul di bibirnya.
"Ini kemenangan," bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun, di balik setiap kata dan senyum itu, suara tangisan rakyat yang lenyap masih bergema dalam hati mereka yang mendengar.
Kekejaman ini adalah akhir dari sebuah operasi, tetapi jejaknya tak akan pernah hilang dari sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H