Tiba-tiba, ledakan meruntuhkan sebuah rumah di pinggir desa. Haji Rahmat dan beberapa warga mencoba bersembunyi di bawah tanah, namun mereka tak bisa lari dari kematian yang datang dengan cepat.
"Semua keluar! Cepat!" terdengar teriakan.
Tangan-tangan kasar membongkar rumah, menarik wanita dan anak-anak keluar tanpa empati. Tak lama setelah itu, suara tembakan meremukkan jantung mereka.
Haji Rahmat merunduk di bawah tanah, mendengar suara-suara teriakan yang semakin lama semakin memudar. Jantungnya berdebar, tangan gemetar, tak mampu menerima kenyataan.
"Apakah ini akhir kami?" gumamnya.
Di markas kecilnya, Westerling berdiri memeriksa peta dengan ekspresi dingin di wajahnya. Di sampingnya, beberapa perwira memantau laporan yang masuk. Suara-suara dari medan operasi terdengar samar melalui radio.
"Laporan menunjukkan perlawanan semakin melemah. Namun, kita perlu dorongan lebih lanjut untuk memastikan mereka menyerah total," ujar salah satu perwira.
Westerling memutar kursi ke arah mereka dengan tatapan tajam.
"Lebih banyak darah berarti mereka akan lebih patuh. Ketakutan adalah bahasa mereka. Jika mereka takut, mereka akan tunduk."
Suara pasukannya di lapangan terdengar dari radio---teriakan, tembakan, dan tangisan yang saling bersahutan.
"Teruskan operasi," kata Westerling dengan suara rendah dan dingin. "Kita akan buat mereka tahu bahwa kekerasan adalah harga yang harus mereka bayar jika terus melawan kita."