Perwira itu tidak berkata apa-apa. Mereka tahu apa maksud Westerling. Tapi ketahuilah bahwa setiap tindakan ini bukan lagi operasi militer---ini adalah pembantaian.
Di salah satu desa yang porak-poranda akibat Operatie Kraai, sekelompok warga memutuskan untuk melawan. Tokoh tua yang mereka hormati, Haji Rahmat, berdiri dengan tangan bergetar sambil memegang parang. Di sebelahnya berdiri para pemimpin desa dengan wajah bersemangat tetapi penuh ketakutan.
"Kita punya pilihan, saudara-saudara," ujar Haji Rahmat dengan suara bergetar. "Kita bisa terus hidup dalam ketakutan, atau kita bisa melawan untuk membuktikan bahwa kita tak mudah tunduk pada teror ini!"
Mereka berdiri dalam lingkaran kecil, beberapa memiliki senjata sederhana---parang, tombak, dan senapan tua.
Amir, salah satu pemuda yang paling bersemangat, berteriak, "Kita tak bisa terus bersembunyi seperti ini! Mereka membunuh anak-anak kita, merampas rumah kita! Ini saatnya kita bangkit!"
Tapi beberapa pemimpin lain memandang penuh keraguan. Haji Rahmat memandang mereka.
"Senjata kita kecil, kekuatan kita lemah dibanding mereka. Tapi semangat kita tak akan bisa mereka padamkan dengan peluru mereka," ujarnya.
Ada ketegangan yang menggigit hati mereka semua. Namun, sebelum mereka bisa memutuskan, suara langkah kaki pasukan tentara datang dari kejauhan.
"Tunggu! Mereka datang!" salah satu pemimpin berteriak.
Pertarungan pun dimulai. Mereka menyerang dengan semangat yang hampir tanpa harapan, melawan pasukan yang dilengkapi senjata canggih dan strategi yang tak tergoyahkan.
Perjuangan itu singkat---terlalu singkat untuk membangun harapan. Pasukan Westerling menghancurkan rumah-rumah lagi, membantai setiap jiwa tanpa ampun. Dengan senjata otomatis yang memuntahkan kematian, mereka mengakhiri perlawanan itu dalam waktu satu malam.