“Maaf tidak cukup,” balas Riko sebelum menutup telepon.
Aldo meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa besar kerugian yang telah ia timbulkan—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga orang lain.
Bulan berikutnya, Aldo mencoba memperbaiki hidupnya. Ia menemui mantan bosnya, meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Meski bosnya tidak memberikan pekerjaan kembali, ia memberikan nasihat berharga.
“Kau punya potensi besar, Aldo,” katanya. “Tapi potensi itu tidak ada gunanya kalau kau tak belajar dari kesalahan.”
Aldo juga mulai mendengarkan masukan dari orang-orang di sekitarnya. Ia mencatat setiap kesalahan dan mencari cara untuk memperbaikinya. Perlahan, ia belajar menjadi lebih rendah hati.
Setahun kemudian, Aldo mendapat pekerjaan baru. Kali ini, ia bekerja dengan sungguh-sungguh. Ia memimpin tim kecil dan memastikan semua berjalan lancar—bukan dengan perintah, tetapi dengan kerja sama. Suatu hari, ia menghubungi Nia.
“Terima kasih, Nia,” katanya.
“Untuk apa?”
“Untuk menunjukkan cermin itu padaku.”
Malam itu, Aldo berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia melihat refleksi dirinya—bukan lagi seorang pria yang menyalahkan orang lain, tetapi seseorang yang berani menghadapi bayangannya sendiri. Ia tersenyum kecil.
“Kau bukan keledai bodoh lagi, Aldo. Kau manusia yang belajar.”