Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Kepala Sekolah SDN Kuryokalangan 02, Gabus Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keledai dalam Cermin

25 November 2024   13:48 Diperbarui: 25 November 2024   14:03 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pagi itu, suara lonceng kecil di pintu kafe berbunyi ketika Aldo masuk. Wajahnya dihiasi senyum—topeng yang selalu ia kenakan. Di sudut kafe, Nia sudah menunggu dengan secangkir kopi di tangannya. Sahabatnya itu mengangkat alis begitu Aldo mendekat.

“Sudah datang, Dalang Hebat?” ejek Nia sambil menyelipkan senyuman.

Aldo tertawa kecil. “Aku bukan dalang. Aku cuma memastikan semua berjalan sesuai rencanaku.”

“Dan gagal total?” goda Nia lagi.

Tawa Aldo terputus. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya. Tapi bukannya introspeksi, ia sibuk menyalahkan orang lain—tim yang malas, rekan kerja yang lamban. Kali ini, bahkan ia tahu, alasan itu tak cukup untuk membela diri.

Nia memandangnya dengan tatapan tajam. “Ada yang aneh hari ini. Kau terlihat gelisah.”

“Tidak ada apa-apa,” elak Aldo, menyesap kopinya.

“Benarkah?” Nia meletakkan cangkirnya. “Aldo, aku tahu ada sesuatu. Jangan bohong.”

Aldo terdiam, merasa terpojok. “Aku dipecat,” gumamnya akhirnya. “Tapi, itu bukan salahku sepenuhnya. Timku terlalu malas dan tidak kompeten.”

Nia mengangkat alis, lalu bersandar di kursinya. “Oh, begitu? Atau mungkin kau yang terlalu sering lepas tangan?”

“Apa maksudmu?”

“Kau tahu maksudku. Kau suka menghindar dari tanggung jawab, Aldo. Selalu menyalahkan orang lain agar terlihat bersih.”

Aldo membuka mulut, ingin membantah, tapi tak ada kata yang keluar. Ia tahu Nia benar. Kebiasaan buruknya itu bukan hal baru. Namun mendengar kenyataan itu langsung dari mulut sahabatnya terasa seperti tamparan.

“Kau tidak bisa terus seperti ini,” lanjut Nia. “Kalau tidak berubah, kau akan terus terperosok ke lubang yang sama. Bahkan keledai lebih pintar dari itu.”

“Jadi aku keledai?” Aldo tertawa kecut.

Nia tersenyum tipis. “Bukan. Aku bilang, bahkan keledai belajar dari kesalahannya. Lalu, kenapa kau tidak?”

Malam itu, Aldo duduk sendirian di apartemennya. Kata-kata Nia terus terngiang di telinganya. Ia membuka laptopnya dan melihat ulang proyek yang membuatnya dipecat. Satu per satu, kesalahannya terpampang jelas: keputusan sembrono, janji yang tak ditepati, dan sikap acuh setiap kali masalah muncul.

Ponselnya berdering. Nama mantan koleganya, Riko, muncul di layar. Dengan ragu, Aldo menjawab.

“Ada apa, Riko?”

“Kau tahu, Aldo,” suara Riko terdengar tajam, “aku selalu berharap kau jadi pemimpin yang bisa kami andalkan. Tapi apa yang kau lakukan? Kau jadikan kami tameng untuk menutupi kegagalanmu.”

Kata-kata itu menghantam Aldo seperti badai. “Aku…” Aldo tercekat. “Aku minta maaf, Riko. Aku sadar sekarang.”

“Maaf tidak cukup,” balas Riko sebelum menutup telepon.

Aldo meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa besar kerugian yang telah ia timbulkan—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga orang lain.

Bulan berikutnya, Aldo mencoba memperbaiki hidupnya. Ia menemui mantan bosnya, meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Meski bosnya tidak memberikan pekerjaan kembali, ia memberikan nasihat berharga.

“Kau punya potensi besar, Aldo,” katanya. “Tapi potensi itu tidak ada gunanya kalau kau tak belajar dari kesalahan.”

Aldo juga mulai mendengarkan masukan dari orang-orang di sekitarnya. Ia mencatat setiap kesalahan dan mencari cara untuk memperbaikinya. Perlahan, ia belajar menjadi lebih rendah hati.

Setahun kemudian, Aldo mendapat pekerjaan baru. Kali ini, ia bekerja dengan sungguh-sungguh. Ia memimpin tim kecil dan memastikan semua berjalan lancar—bukan dengan perintah, tetapi dengan kerja sama. Suatu hari, ia menghubungi Nia.

“Terima kasih, Nia,” katanya.

“Untuk apa?”

“Untuk menunjukkan cermin itu padaku.”

Malam itu, Aldo berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia melihat refleksi dirinya—bukan lagi seorang pria yang menyalahkan orang lain, tetapi seseorang yang berani menghadapi bayangannya sendiri. Ia tersenyum kecil.

“Kau bukan keledai bodoh lagi, Aldo. Kau manusia yang belajar.”

TAMAT.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun