“Apa maksudmu?”
“Kau tahu maksudku. Kau suka menghindar dari tanggung jawab, Aldo. Selalu menyalahkan orang lain agar terlihat bersih.”
Aldo membuka mulut, ingin membantah, tapi tak ada kata yang keluar. Ia tahu Nia benar. Kebiasaan buruknya itu bukan hal baru. Namun mendengar kenyataan itu langsung dari mulut sahabatnya terasa seperti tamparan.
“Kau tidak bisa terus seperti ini,” lanjut Nia. “Kalau tidak berubah, kau akan terus terperosok ke lubang yang sama. Bahkan keledai lebih pintar dari itu.”
“Jadi aku keledai?” Aldo tertawa kecut.
Nia tersenyum tipis. “Bukan. Aku bilang, bahkan keledai belajar dari kesalahannya. Lalu, kenapa kau tidak?”
Malam itu, Aldo duduk sendirian di apartemennya. Kata-kata Nia terus terngiang di telinganya. Ia membuka laptopnya dan melihat ulang proyek yang membuatnya dipecat. Satu per satu, kesalahannya terpampang jelas: keputusan sembrono, janji yang tak ditepati, dan sikap acuh setiap kali masalah muncul.
Ponselnya berdering. Nama mantan koleganya, Riko, muncul di layar. Dengan ragu, Aldo menjawab.
“Ada apa, Riko?”
“Kau tahu, Aldo,” suara Riko terdengar tajam, “aku selalu berharap kau jadi pemimpin yang bisa kami andalkan. Tapi apa yang kau lakukan? Kau jadikan kami tameng untuk menutupi kegagalanmu.”
Kata-kata itu menghantam Aldo seperti badai. “Aku…” Aldo tercekat. “Aku minta maaf, Riko. Aku sadar sekarang.”