Aditya tersenyum tipis. "Aku bangga padamu."
Malam itu, Dini berjalan pulang sendirian. Langit Pati yang berbintang terasa begitu dekat, seolah mengawasinya dari atas.
Namun, takdir belum selesai dengannya.
Saat ia membuka pintu rumah kontrakannya, ia melihat amplop putih tergeletak di meja. Tulisan tangan Aditya di atasnya terlihat rapi.
"Din, aku tahu aku mencintaimu. Tapi aku juga tahu, untuk saat ini, kamu lebih butuh mencintai dirimu sendiri. Aku tidak akan memaksa masuk ke hidupmu. Jika suatu saat kamu sudah siap, aku ada di sini. Tapi jika tidak, aku tetap bahagia pernah mengenalmu. Salam, Aditya."
Dini membacanya berkali-kali, merasakan setiap kata seperti pisau yang mengiris halus. Ia menangis, bukan karena kehilangan, tetapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas.
Di depan cermin kamar tidurnya, Dini menatap bayangan dirinya sendiri. Ada kekuatan di sana, tetapi juga kesepian yang membayangi. Ia tahu pilihannya benar, tetapi kebenaran sering kali datang dengan harga yang mahal.
"Pilihan ini milikku," katanya pada dirinya sendiri, setengah berbisik. "Tapi, kenapa rasanya aku kehilangan semuanya?"
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dini mengerti bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang ia temukan di luar dirinya. Tapi tetap saja, bayangannya di cermin menatapnya dengan dingin, seperti bertanya: "Apakah kau yakin?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H