Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayang-Bayang yang Memilih

22 November 2024   15:30 Diperbarui: 22 November 2024   17:18 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dini. pixabay.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dini selalu percaya hidup adalah tentang pilihan. Ia memilih untuk tersenyum meski hatinya perih, memilih untuk berdiri meski dunianya runtuh. Namun, kepercayaan itu mulai goyah ketika pilihan-pilihan yang ia buat terasa seperti tali yang semakin mencekiknya.

Dini menikah dengan Yuda, seorang pria ambisius yang pernah ia pikir akan menjadi pelindungnya. Namun, ambisi Yuda berubah menjadi ketamakan. Ia berselingkuh, meninggalkan Dini dengan luka yang tak mampu sembuh oleh waktu. Saat akhirnya mereka bercerai, Dini mengumpulkan sisa-sisa dirinya dan memulai hidup baru sebagai pelayan kafe.

Di sinilah ia bertemu Aditya, seorang pria sederhana yang selalu datang pada pukul lima sore, memesan kopi hitam tanpa gula. Hari demi hari, obrolan mereka berkembang dari basa-basi menjadi percakapan yang dalam. Aditya selalu ada untuk Dini, menghapus sisa-sisa bayang kelam yang ditinggalkan Yuda.

Namun, takdir sering kali bermain-main.

Di suatu sore yang cerah, Dini membuka pintu kafe dan mendapati Yuda duduk di sudut ruangan. Wajah pria itu tampak lebih tua, tetapi matanya penuh dengan harapan. "Aku ingin kita kembali," katanya setelah kafe tutup.

Dini hanya diam, dadanya sesak. Setelah semua luka, Yuda kembali seperti badai yang tiba-tiba menerjang tenangnya lautan.

"Kenapa sekarang?" tanya Dini lirih.

"Aku menyesal," jawab Yuda. "Aku sadar, kamu adalah satu-satunya tempatku pulang."

Dini tahu Aditya tidak akan pernah menyakitinya seperti Yuda. Tapi Yuda adalah bagian dari masa lalunya, bagian yang masih ia simpan meski dengan kemarahan.

"Ini hidupmu, Din," suara Aditya bergema di benaknya. "Apa pun pilihanmu, pastikan itu membuatmu bahagia."

Dini menatap Yuda. Hatinya berperang antara rasa cinta yang dulu pernah ia miliki dan luka yang mengajarinya tentang arti bertahan hidup.

Dan ia membuat pilihan.

Tiga bulan kemudian, Dini duduk di sebuah restoran kecil, mengenakan gaun sederhana, tetapi wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tak biasa. Di depannya, Aditya tersenyum, meski ada rasa penasaran di matanya.

"Aku ingin meminta maaf," kata Dini, tangannya menggenggam cangkir teh hangat.

"Untuk apa?" tanya Aditya.

"Karena aku sempat memilih kembali pada Yuda."

Aditya terdiam, tetapi tidak tampak terkejut.

"Aku pikir aku bisa memperbaiki sesuatu yang sudah rusak," lanjut Dini. "Tapi kenyataannya, itu seperti mengulang mimpi buruk yang sama. Aku tidak bisa mengubah Yuda, dan yang lebih penting, aku tidak bisa mengkhianati diriku sendiri lagi."

Aditya menatapnya dengan lembut. "Jadi, sekarang?"

Dini menarik napas panjang. "Sekarang aku memilih diriku sendiri. Aku memilih untuk memaafkan diriku, membebaskan diriku dari bayang-bayang siapa pun."

Aditya tersenyum tipis. "Aku bangga padamu."

Malam itu, Dini berjalan pulang sendirian. Langit Pati yang berbintang terasa begitu dekat, seolah mengawasinya dari atas.

Namun, takdir belum selesai dengannya.

Saat ia membuka pintu rumah kontrakannya, ia melihat amplop putih tergeletak di meja. Tulisan tangan Aditya di atasnya terlihat rapi.

"Din, aku tahu aku mencintaimu. Tapi aku juga tahu, untuk saat ini, kamu lebih butuh mencintai dirimu sendiri. Aku tidak akan memaksa masuk ke hidupmu. Jika suatu saat kamu sudah siap, aku ada di sini. Tapi jika tidak, aku tetap bahagia pernah mengenalmu. Salam, Aditya."

Dini membacanya berkali-kali, merasakan setiap kata seperti pisau yang mengiris halus. Ia menangis, bukan karena kehilangan, tetapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas.

Di depan cermin kamar tidurnya, Dini menatap bayangan dirinya sendiri. Ada kekuatan di sana, tetapi juga kesepian yang membayangi. Ia tahu pilihannya benar, tetapi kebenaran sering kali datang dengan harga yang mahal.

"Pilihan ini milikku," katanya pada dirinya sendiri, setengah berbisik. "Tapi, kenapa rasanya aku kehilangan semuanya?"

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dini mengerti bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang ia temukan di luar dirinya. Tapi tetap saja, bayangannya di cermin menatapnya dengan dingin, seperti bertanya: "Apakah kau yakin?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun