Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Evaluasi Program Guru Penggerak, Alasan untuk Penghapusan atau Perubahan Strategis

9 November 2024   16:01 Diperbarui: 9 November 2024   16:15 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dasar Teori dan Data yang Mendukung

1. Teori Kepemimpinan Pendidikan dan Pembelajaran Inovatif

Teori-teori kepemimpinan pendidikan, seperti Kepemimpinan Transformasional yang dikembangkan oleh Bass (1985), menyatakan bahwa pemimpin dalam pendidikan (dalam hal ini, guru) harus dapat menginspirasi perubahan melalui inovasi dan pemberdayaan.

Program seperti PGP dirancang untuk menciptakan pemimpin pembelajaran yang dapat mengubah dan memajukan kualitas pendidikan di sekolah mereka.

Namun, meskipun teori ini berbicara tentang pentingnya pelatihan dan pengembangan kepemimpinan guru, implementasi nyata dari PGP belum menunjukkan hasil yang konsisten sesuai dengan ekspektasi tersebut.

Berdasarkan penelitian Hattie (2009), faktor yang lebih penting dalam keberhasilan pembelajaran adalah kualitas pengajaran yang dapat langsung diterapkan dalam kelas, bukan hanya peningkatan kepemimpinan guru.

Artinya, meskipun pengembangan kepemimpinan guru itu penting, keberhasilan pendidikan juga bergantung pada praktik pengajaran yang efektif, yang tidak selalu dijamin oleh pelatihan semata.

2. Biaya yang Besar dengan Dampak Terbatas

Berdasarkan data dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan (BPSDMPK, 2022), PGP telah menghabiskan anggaran yang signifikan namun tidak memiliki dampak yang cukup besar terhadap seluruh sektor pendidikan.

Misalnya, pelatihan PGP hanya menyasar sebagian kecil dari 3,5 juta guru di Indonesia, dengan lebih dari 50% guru di daerah terpencil (terutama di 3T) tidak mendapatkan akses pelatihan yang relevan.

Anggaran yang tinggi tersebut lebih terfokus pada program yang sifatnya elit dan terbatas, padahal masalah utama pendidikan Indonesia adalah pemerataan kualitas dan kesempatan belajar di daerah-daerah yang kurang terlayani.

3. Kesenjangan Akses dan Implementasi yang Tidak Merata

Distribusi manfaat PGP tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Laporan World Bank (2020), sekitar 60% guru di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) melaporkan bahwa mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap pelatihan profesional yang bisa meningkatkan keterampilan mereka dalam menerapkan kurikulum yang lebih modern dan berbasis teknologi.

Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam distribusi program, yang memperburuk kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Pada saat yang sama, hasil Survey Indikator Pendidikan Nasional (2022) menunjukkan bahwa meskipun pelatihan PGP diperkenalkan di sejumlah wilayah, kurangnya dukungan infrastrukur pendidikan seperti teknologi dan fasilitas yang memadai, membuat penerapan ilmu yang didapatkan dari pelatihan tersebut menjadi sulit dilakukan di sekolah-sekolah di luar kota besar.

Ini mengarah pada ketidakefektifan program dalam menghasilkan perubahan signifikan di kelas.

4. Dampak Terbatas terhadap Peningkatan Pembelajaran

Survei yang dilakukan oleh BPSDMPK (2022) juga menunjukkan bahwa hanya 40% guru yang telah mengikuti PGP merasa bahwa mereka dapat mengaplikasikan pembelajaran berbasis proyek dan teknologi yang diperoleh selama pelatihan.

Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun PGP bertujuan untuk memperbarui metode pembelajaran guru, hasil yang tercapai masih sangat terbatas, terutama terkait dengan implementasi langsung di kelas.

Sebagai perbandingan, penelitian Hattie (2009) menunjukkan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi kualitas pembelajaran adalah strategi pengajaran yang konkret dan pengetahuan konten guru, bukan hanya pelatihan administratif atau kepemimpinan.

5. Kendala Pendampingan dan Monitoring yang Tidak Optimal

Menurut Laporan Evaluasi Kinerja Program PGP (2023), sekitar 60% guru PGP merasa bahwa pendampingan dan monitoring yang dilakukan pasca-pelatihan kurang efektif.

Banyak guru melaporkan tidak ada follow-up yang memadai untuk memastikan bahwa mereka bisa mengimplementasikan pengetahuan yang diperoleh selama pelatihan dalam konteks sehari-hari mereka.

Hal ini sesuai dengan temuan dari ResearchGate (2022) yang menyatakan bahwa tanpa pendampingan berkelanjutan, pelatihan profesional bagi guru seringkali tidak membawa dampak jangka panjang, yang menyebabkan rendahnya perubahan dalam praktik pembelajaran.

6. Penurunan Peringkat Indonesia dalam PISA dan TIMSS

Penurunan peringkat Indonesia dalam PISA (Program for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih menghadapi tantangan besar.

Peringkat Indonesia dalam PISA (2018) tercatat berada di posisi ke-72 dari 79 negara yang berpartisipasi.

Penurunan ini menunjukkan bahwa meskipun ada berbagai program pelatihan untuk guru, kualitas pembelajaran yang dihasilkan masih jauh dari harapan.

7. Keterbatasan Infrastruktur dan Teknologi

Menurut Laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2022), hanya sekitar 35% sekolah di Indonesia yang memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pembelajaran berbasis teknologi, yang menjadi salah satu komponen utama dalam PGP.

Tanpa infrastruktur yang cukup, terutama di daerah-daerah pedesaan, pelatihan teknologi yang diberikan oleh PGP menjadi tidak efektif dan tidak dapat diterapkan secara maksimal.

Kesimpulan: PGP Tidak Efektif, Perlu Penghapusan atau Perubahan Radikal

Meskipun Program Guru Penggerak memiliki tujuan mulia, data dan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program ini tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Masalah utama yang dihadapi pendidikan Indonesia tidak hanya terletak pada kualitas pelatihan guru, tetapi juga pada pemerataan akses pendidikan, infrastruktur yang kurang memadai, dan pendekatan pembelajaran yang belum cukup efektif.

Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika PGP dievaluasi kembali dengan serius, dan dananya dialihkan ke program-program yang lebih inklusif dan merata, serta lebih terfokus pada kebutuhan dasar guru di daerah-daerah yang lebih membutuhkan.

Perubahan yang lebih mendalam dalam sistem pendidikan Indonesia, dengan fokus pada pemerataan fasilitas dan peningkatan kualitas pembelajaran di semua lini, akan lebih efektif dalam menciptakan pendidikan berkualitas dan meningkatkan peringkat Indonesia di dunia internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun