Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burger Misteri, Rahasia di Balik Rasa

27 Oktober 2024   03:24 Diperbarui: 27 Oktober 2024   03:42 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(SHUTTERSTOCK/Taras Hipp)


OLEH: Khoeri Abdul Muid

Suasana GoBurger malam itu ramai seperti biasa. Sari memandang ke sekeliling restoran, mengamati wajah para pelanggan yang riang sambil menyantap burger Jumbo Special yang terkenal. Ia tahu, malam ini ia tak hanya menjadi pelanggan biasa---ia datang sebagai seorang jurnalis yang menyamar, mencari kebenaran di balik berita wabah E. coli yang sedang heboh di media.

Seorang pria paruh baya, mengenakan celemek putih dengan logo Green Valley Farms, baru saja keluar dari dapur. Ini Roni, mantan pegawai Green Valley yang kini bekerja paruh waktu di GoBurger. Sari memutuskan untuk mendekatinya, melihat peluang emas ini.

"Hei, kamu Roni, kan?" Sari bertanya dengan nada akrab. "Aku dengar kamu pernah kerja di Green Valley?"

Roni tertegun sejenak, matanya menyipit, mencoba mengenali siapa Sari. "Siapa kamu?" tanyanya curiga.

Sari tersenyum samar. "Namaku Sari. Aku... punya sedikit pertanyaan soal Green Valley dan pasokan bawangnya." Ia merendahkan suaranya, menambahkan dengan nada konspiratif, "Aku tahu soal kontaminasi E. coli itu."

Roni menghela napas panjang, lalu memandang ke sekeliling memastikan tak ada yang mendengar. "Kalau kamu datang untuk mencari tahu soal itu, kamu salah tempat, Mbak," bisiknya. "Tapi ya... kalau sudah tahu sejauh ini, mungkin aku bisa bantu sedikit. Toh aku sudah tidak ada hubungannya lagi dengan Green Valley."

Sari duduk lebih dekat, mengambil recorder kecilnya dan mengaktifkannya. "Bisa ceritakan apa yang kamu tahu?"

Roni menggigit bibirnya, seolah berpikir keras. "Dengar, aku kerja di Green Valley selama hampir 10 tahun. Dulu, semuanya ketat; produk dicek berkali-kali sebelum dikirim. Tapi akhir-akhir ini, mereka mulai longgar. Bawang dan bahan lain tak lagi diinspeksi secara ketat, bahkan ada laporan soal beberapa batch yang rusak, tapi... semua itu tetap dikirimkan," ia terdiam sejenak, "demi keuntungan."

"Jadi mereka tahu bawangnya bisa tercemar?" Sari berbisik, matanya melebar.

Roni mengangguk pelan. "Ya. Pimpinan tahu soal itu, tapi mereka bilang cuma 'risiko kecil'. Dan lihat sekarang---'risiko kecil' itu sudah memakan korban. Malah ada yang meninggal."

Sari mencatat semuanya dengan cermat. "Roni, menurutmu, siapa di balik keputusan untuk mengabaikan inspeksi ini?"

"Pak Anton," jawab Roni, seolah nama itu membawa beban berat di hatinya. "Dia kepala divisi kontrol kualitas. Dulu dia keras soal kualitas. Tapi sejak dia diiming-imingi bonus besar, semuanya berubah. Aku tahu dia pasti terlibat."

Mereka terdiam sejenak. Sari bisa merasakan ketegangan dan rasa penyesalan dalam diri Roni, yang merasa bersalah karena pernah menjadi bagian dari sistem itu.

"Apa kamu tahu ada yang lain di GoBurger yang sadar soal ini?" tanya Sari penuh harap.

Sebelum Roni sempat menjawab, seorang karyawan lain datang menghampiri mereka dengan wajah penuh amarah. "Hei! Apa yang kamu lakukan di sini, Roni? Kamu tahu aturan, nggak ada ngobrol dengan pelanggan tentang dapur!" bentaknya.

Roni menelan ludah, tampak cemas. Ia menarik lengan Sari dan berbisik, "Datanglah ke rumahku nanti malam. Jam sepuluh. Aku akan ceritakan semuanya."

Malamnya, Sari bergegas menuju rumah Roni di pinggiran kota. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Roni membuka pintu dengan raut wajah gelisah.

"Masuk cepat. Kita nggak bisa bicara lama," katanya sambil memeriksa jalanan sekitarnya. Begitu Sari duduk di sofa kecil yang ada di ruang tamu, Roni mulai bicara.

"Aku... ada beberapa dokumen yang menunjukkan bahwa Green Valley memang tahu soal kontaminasi itu," katanya sambil membuka laci kecil di samping sofa. Ia menarik beberapa lembar kertas dan menyerahkannya pada Sari. "Ini salinannya. Bukti memo dari Pak Anton, di situ tertulis jelas bahwa dia tahu soal bawang yang tercemar tapi tetap meneruskannya."

Sari membaca cepat dokumen itu, matanya terpaku pada kalimat di memo yang bertuliskan, "Risiko ini kecil dan tak perlu diperpanjang." Ia tak percaya bahwa nyawa orang-orang dianggap sebagai "risiko kecil".

"Kita harus mempublikasikan ini," Sari berkata dengan nada tegas.

"Ya, tapi berhati-hatilah," jawab Roni. "Pak Anton bukan orang yang bisa dianggap remeh. Dia punya koneksi, bahkan bisa mengontrol informasi yang keluar dari Green Valley. Ada kemungkinan, jika ini keluar ke publik... kita yang akan dalam bahaya."

Tiba-tiba terdengar suara keras dari luar, diikuti ketukan cepat di pintu depan. Roni segera berdiri, wajahnya berubah pucat.

"Kamu menunggu tamu lain?" tanya Sari, suaranya mulai bergetar.

Roni menggeleng, bibirnya berbisik, "Tidak..."

Sari merasakan bulu kuduknya meremang. Mereka saling pandang, menyadari kemungkinan terburuk.

Pintu diketuk sekali lagi, kali ini lebih keras.

Roni, dengan nada suara berbisik, berkata, "Mungkin... ini bukan kebetulan."

Sari menggenggam erat dokumen di tangannya, dan jantungnya mulai berdegup kencang.

"Roni... apa kamu yakin nggak ada orang lain yang tahu soal pertemuan ini?"

Roni menatapnya, matanya penuh kecemasan. "Aku... tidak yakin."

Suara ketukan berubah menjadi gedoran, semakin keras dan mendesak.

Mereka saling pandang, tanpa kata-kata, hanya terpaut dalam ketakutan dan ketidakpastian.

Di luar, terdengar suara berat seseorang, "Buka pintunya, Roni. Kami tahu kamu di dalam."

Sari menggenggam tangan Roni dengan erat, dan dalam keheningan itu, mereka tahu: saatnya berhadapan dengan kenyataan, atau menyerah pada ketidakpastian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun