Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tiga Srikandi dan Pertarungan Suara, Refleksi Filosofis dari Jawa Timur

10 Oktober 2024   12:45 Diperbarui: 10 Oktober 2024   12:58 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luluk, Risma, dan Khofifah masing-masing mengandalkan strategi untuk menggerakkan basis kultural ini. Namun, perdebatan filosofis muncul: sejauh mana pemilih benar-benar bebas dalam membuat keputusan politik, atau apakah mereka hanya menjalankan 'fatsun' dalam konteks tradisi yang sudah mendarah daging?

Teknologi, Budaya, dan Perubahan

Dalam percaturan Pilgub ini, kita melihat bagaimana teknologi modern, kekuatan tradisi, dan narasi perubahan berbaur menjadi satu. Luluk mengusung gagasan perubahan sebagai daya tarik utama, membangun citra diri sebagai pendatang baru yang siap mengguncang status quo. Tapi, apakah perubahan itu mungkin terjadi dalam struktur sosial yang sudah tertanam begitu kuat?

Risma dan Gus Hans menyoroti pentingnya jaringan langsung dengan pemilik pesantren, sebuah jaringan yang tidak bisa disentuh oleh pasangan calon lain. Sementara itu, Khofifah dan Emil mengandalkan investasi kepemimpinan yang telah dibangun selama bertahun-tahun, menjalin hubungan yang erat dengan para kiai dan tokoh kultural. Tapi dalam pertarungan politik, apa yang lebih berharga: jaringan lama atau strategi baru?

Epilog: Pertarungan Abadi Manusia

Pada akhirnya, perjuangan tiga srikandi ini mengingatkan kita pada pertarungan abadi manusia untuk mencari pengaruh dan kekuasaan. Seperti yang dikatakan Nietzsche, "Will to Power" adalah dorongan dasar setiap manusia untuk mendominasi dan memaksakan kehendak. Namun, apakah kekuasaan politik ini hanya tentang mendominasi, atau ada sesuatu yang lebih mendalam yang dicari?

Dalam filosofi hidup Jawa, kuasa bukanlah sesuatu yang harus dikejar mati-matian, melainkan sesuatu yang datang ketika seseorang telah mengatasi ego dan mencapai tingkat harmoni dengan diri dan lingkungannya. Tiga srikandi ini tidak hanya bertarung untuk menang, tapi juga mencari makna yang lebih dalam dari kepemimpinan. Bagi mereka, mungkin kemenangan sejati bukan hanya dalam suara, tapi dalam bagaimana mereka menginspirasi perubahan di hati rakyat.

Tiga Srikandi di Jawa Timur kini bukan hanya nama, tapi simbol perjuangan wanita dalam menggapai kekuasaan dengan prinsip-prinsip yang mengakar kuat pada budaya dan teknologi modern. Kemenangan mereka adalah kemenangan filosofi hidup yang dipertaruhkan di tengah teknologi dan tradisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun