Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tiga Srikandi dan Pertarungan Suara, Refleksi Filosofis dari Jawa Timur

10 Oktober 2024   12:45 Diperbarui: 10 Oktober 2024   12:58 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah suara bisa dipengaruhi oleh strategi, ataukah kekuasaan itu sejatinya hanya ilusi yang dimainkan oleh angin politik? Dalam Pilgub Jawa Timur 2024, tiga srikandi berjuang memperebutkan suara rakyat---Khofifah, Risma, dan Luluk. Namun, apakah kemenangan politik semata hanya soal angka, atau ada makna yang lebih dalam di balik pencarian kekuasaan ini?

Filosofi Kuasa dan Kepemimpinan

Kuasa sering dilihat sebagai sesuatu yang bisa direbut dan dikendalikan. Filsuf Michel Foucault mengingatkan kita bahwa kuasa tidak bersifat statis; ia bergerak, berubah, dan tersebar melalui jaringan relasi sosial. Dalam konteks politik, kuasa bukan hanya soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana pemimpin tersebut mampu mempengaruhi dan membentuk pandangan serta tindakan orang-orang di sekitarnya.

Pilgub Jawa Timur adalah sebuah representasi nyata dari teori ini. Khofifah Indar Parawansa, sebagai petahana, sudah menanamkan "investasi" politiknya selama bertahun-tahun, membentuk jaringan yang kuat di akar rumput, khususnya melalui hubungan dengan para tokoh kultural NU. Risma, dengan popularitasnya sebagai mantan Wali Kota Surabaya, mengandalkan rekam jejak dan pendekatan "resik-resik" dalam visinya. Sementara itu, Luluk Nur Hamidah berusaha menonjolkan gagasan perubahan, menawarkan alternatif kepada mereka yang tidak puas dengan kepemimpinan sebelumnya. Namun, apakah strategi-strategi ini cukup untuk memenangkan hati rakyat?

Teknologi dan Politik: Memetakan Suara dengan Data

Dalam era digital, kuasa sering kali direduksi menjadi angka-angka: elektabilitas, survei, dan data pemilih. Survei elektabilitas yang menunjukkan Khofifah-Emil di posisi teratas mengisyaratkan adanya korelasi antara kedekatan dengan para kiai dan jumlah dukungan yang signifikan di akar rumput. Namun, apakah angka-angka ini bisa benar-benar mencerminkan realitas yang lebih luas?

Ilmu data dan teknologi saat ini memungkinkan para calon untuk merancang strategi berdasarkan analisis data besar (big data), mengidentifikasi pola perilaku pemilih, dan menyesuaikan kampanye untuk meraih simpati lebih besar. Namun, dalam esensinya, apakah teknologi ini bisa benar-benar menangkap kerumitan batin manusia, yang kadang memilih bukan berdasarkan logika, tapi berdasarkan emosi, kepercayaan, atau bahkan "fatsun sami'na wa atho'na"?

Gagasan 'Fatsun' dan Politik Kultural

Dalam konteks Jawa Timur, khususnya di kalangan masyarakat NU, konsep 'fatsun sami'na wa atho'na' (mendengar dan taat) memainkan peran kunci. Ini bukan sekadar soal kepatuhan buta, melainkan sebuah bentuk kepercayaan mendalam terhadap otoritas moral dan spiritual yang melekat pada para kiai dan tokoh agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun