Survei elektabilitas yang menunjukkan Khofifah-Emil di posisi teratas mengisyaratkan adanya korelasi antara kedekatan dengan para kiai dan jumlah dukungan yang signifikan di akar rumput. Namun, apakah angka-angka ini bisa benar-benar mencerminkan realitas yang lebih luas?
Ilmu data dan teknologi saat ini memungkinkan para calon untuk merancang strategi berdasarkan analisis data besar (big data), mengidentifikasi pola perilaku pemilih, dan menyesuaikan kampanye untuk meraih simpati lebih besar.Â
Namun, dalam esensinya, apakah teknologi ini bisa benar-benar menangkap kerumitan batin manusia, yang kadang memilih bukan berdasarkan logika, tapi berdasarkan emosi, kepercayaan, atau bahkan "fatsun sami'na wa atho'na"?
Gagasan 'Fatsun' dan Politik Kultural
Dalam konteks Jawa Timur, khususnya di kalangan masyarakat NU, konsep 'fatsun sami'na wa atho'na' (mendengar dan taat) memainkan peran kunci.Â
Ini bukan sekadar soal kepatuhan buta, melainkan sebuah bentuk kepercayaan mendalam terhadap otoritas moral dan spiritual yang melekat pada para kiai dan tokoh agama.
Luluk, Risma, dan Khofifah masing-masing mengandalkan strategi untuk menggerakkan basis kultural ini.Â
Namun, perdebatan filosofis muncul: sejauh mana pemilih benar-benar bebas dalam membuat keputusan politik, atau apakah mereka hanya menjalankan 'fatsun' dalam konteks tradisi yang sudah mendarah daging?
Teknologi, Budaya, dan Perubahan
Dalam percaturan Pilgub ini, kita melihat bagaimana teknologi modern, kekuatan tradisi, dan narasi perubahan berbaur menjadi satu.Â
Luluk mengusung gagasan perubahan sebagai daya tarik utama, membangun citra diri sebagai pendatang baru yang siap mengguncang status quo. Tapi, apakah perubahan itu mungkin terjadi dalam struktur sosial yang sudah tertanam begitu kuat?