OLEH: Khoeri Abdul Muid
Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.
Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.
Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.
Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka.
Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.
Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog Gurusiana.
 "Mas. Dalam buku John Gardner yang ilmuwan barat itu dikatakan. Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu. Dan, jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Njenengan percaya teori itu, Mas?" tanya Ponco melempar masalah diskusi. Sembari mengkonfirmasinya dengan melihat kutipan kalimat itu yang sengaja ditulisnya di secarik kertas. Agar persis. Tak meleset.
"Percaya," jawab singkat Silo.
Bah. Tak sesuai ekspektasinya. Tak setimpal dengan jerih-payah mengajukan kutipan panjangnya.