Kontan saja meledaklah tangis Pangeran Basoko sembari memeluk erat-erat ibunya, Permaisuri Sepuh Ajengastuti. Ibu dan anak itu saling berbagi duka. Berderai air matanya. Pun Gemboslewaslewos, mewak-mewek menangis tak henti-henti.
Sejenak kemudian Pengeran Basoko sedikit mampu menenangkan dirinya dan perlahan-lahan melepaskan pelukannya pada Ibunya.
“Ayah Tumenggung Bagaswaras dibunuh Prabu Mengkuwaseso, Ibu.. Maka, sebagai tanda bakti saya kepada mendiang Ayahanda Tumenggung Bagaswaras, saya harus membalaskannya… Prabu Sepuh Mengkuwaseso harus saya bu..!”.
“Jangan! Jangan, Basoko!... Kamu jangan gegabah!… Berani melawan Ayahmu, Prabu sepuh Mengkuwaseso sama halnya menyetor nyawa… Sebab, Ayahmu Prabu Sepuh Mengkuwaseso memiliki senjata Kyai Janur Kuning. Dan, tidak ada gunanya kamu balas dendam… Semua itu sudah menjadi takdir. Apalagi, permusuhan tidak akan selesai dengan permusuhan. Tetapi justru permusuhan itu akan hilang dengan rasa cinta kasih, Anakku… Sudah ya, Anakku… Ibu kembali ke Rumah Kasepuhan Timur. Ingat, perhatikan nasihat Ibu tadi…!”.
Sambil menyusut air mata, Permaisuri Sepuh Ajengastuti meninggalkan Pangeran Basoko.
Sementara Pangeran Basoko member isyarat Gemboslewaslewos untuk mendekat. Selanjutnya mereka terlibat bisik-bisik penting. Rupanya Gemboslewaslewos diperintah untuk mempersiapkan para muda keamanan Kesatriyan Basokan mengawal Pangeran Basoko yang hendak mencuri Kyai Janur kuning.
BERSAMBUNG.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H