Di Kesatriyan Kabasokan, Pangeran Basoko masih saja berlinang air mata. Sesekali pandangannya menerawang ke atas dan sesekali pula ke arah bangunan teras belakang yang dihias bunga itu.
Batinnya masih saja berontak.
“Oh, tersiksa amat hidupku… Aku yang dilahirkan dari ayah raja ibu ratu, orang yang terwarisi tahta, tapi ketemunya ternyata tidak tahu aturan…”.
Terhentik sejenak oleh tarikan napas beratnya yang tersengal. Tapi Pangeran Basoko masih saja melanjutkan gumamannya.
“Hmm… Gajah menginjak rapah. Kuda makan tali kendali! Hak wewenang saya dirampas, harga diriku diinjak-injak… Oh, Basoko, Basoko… Takdirmu kamu punya orang tua yang tidak lagi punya rasa kasih dan cinta… Untuk apa kamu hidup, ha?! Untuk apa…?!!!”.
Dengan pandangan mata nanar dan geraham yang mengkertak-kertak, Pangeran Basoko mencabut kerisnya. Mantap, pelan, diangkatnya tinggi-tinggi, siap untuk ditikamkan di dadanya…
“Ya. Benar… benar… tidak ada gunanya aku hidup…! Oh, Ayah, Ibu… Pasti ini yang kalian inginkan!!! Aku harus maaat…”.
“Jangan, Pangeraaaan…!”.
Sontak Gemboslewaslewos gesit menyambar tangan pangeran Basoko. Dengan gerakan kripnya, keris yang ada di genggaman Pangeran Basoko terpental jatuh.
Pangeran Basoko meledak amarahnya. Gemboslewaslewos dihajar tanpa ampun. Mengaduh-aduh berteriak kapok-kapok!
“Setan kau, Gembos!... Berani beraninya kamumenghalang-halangi kehendakku, ha!!! Dasar, Gembos kunyuuuk!...”.
Gemboslewaslewos gemetaran.
“Mohon maaf, Pa Pa Pangeran… Kapok, Pangeran, Kapok Pangeran… Sa Sama sekali saya tidak akan berani kepada Tuan Pangeran… tapi, sungguh besar rasa kasih saya kepada Pangeran…”.
“Rasa kasih, rasa kasih…?!Kamu ini siapa kok repot-repot mengasihani aku, ha?! Hmm…! La wong hanya gedibal (kotoran) tersempar-sempar yang saya ambil dari jalanan, saya jadikan pembantu di ksatriyan sini, la kok mau mengasihani saya?!!!”.
Kembali amarah Pangeran basoko meledak. Gemboslewaslewos dihajar hingga terkencing-kencing sembari minta-minta ampun.
“Saya sayang Tuan Pangeran Basoko, Tuan… Saya tidak rela bila Tuan Pangeran Basoko tewas karena bunuh diri…”.
“Cukup! Cukup, Gembos!!!... Kupingku mendengung mendengar omonganmu! Mataku risih melihat wujudmu! Sana pergi! Pergi kau Gembos!!!”.
Gertak Pangeran Basoko sembari bergerak ke bilah keris.
Membungkuk hendak memungutnya. Tapi tanpa pikir panjang Gemboslewaslewos menendangnya.
Pangeran Basoko terjungkal.
Maka dengan emosi Pangeran Basoko segera berusaha meraih bilah keris lagi. Dan, karuan saja Gemboslewaslewos menghalanginya.
Maka terjadilah pergumulan antara Pangeran Basoko dan Gemboslewaslewos.
Dalam pergumulan itu datanglah seseorang yang oleh mereka karena sedang bergelut di lantai maka tampak sepasang kaki Permaisuri Sepuh Ajengastuti.
Menyusul tangannya perlahan memungut bilah keris yang diperebutkan pangeran Basoko dan Gemboslewaslewos tersebut.
Merekapun mendongak perlahan-lahan ke atas.
Permaisuri Sepuh Ajengastuti dengan tenang melerai…
“Anakku Pangeran Basoko…, Gembos…! Sudahi gelut kalian! Aku perintahkan, sudah…!”.
Pangeran Basoko dan Gembos tampak takut dan saling melepaskan diri sembari mengibas-ibas debu di baju mereka.
“Gemboslewaslewos…! Orang tidak bercermin pada tengkuk itu ya kamu!... Ingatlah. Asal-muasalmu itu dari jalanan, gelandangan… Tapi setelah dimuliakan anakku Pangeran Basoko, kamu malah berani melawan ya sekarang?! Ehm… sama halnya menyelimuti macan galak, akibatnya malah mencaplok…!”, caci Permaisuri Sepuh Ajengastuti pada Gembos yang tak kalah pedas dari Pangeran Basoko.
Ketakutan Gemboslewaslewos makin menjadi-jadi, “A, a… Ti… tidak, Gusti… Si… siap menerima amarah Gusti. Saya… saya… hanya akan merebut pusaka yang akan digunakan bu… bunuh… diri Pa… Pa… Pangeran Basoko, Gusti Permaisuri!...”.
“Ha?!!!”, Kontan Permaisuri Sepuh Ajengastuti terkejut bukan kepalang.
“Anakku Basoko mau bunuh diri?!...?.
Pangeran Basoko geram dengan memelototi Gemboslewaslewos. Sementara Gemboslewaslewos hanya bisa menunduk ketakutan.
Sejenak kemudian Permaisuri Sepuh Ajengastuti menarik napas dalam-dalam sembari mendekati Pangeran Basoko. Bahu Basoko digamit erat-erat. Perasaannya sangat iba.
“Anakku Basoko… Pun Ibu bisa merasakan penderitaan hatimu, Nak… Hatimu pasti remuk berkeping-keping karena tingkah sewenang-wenang Ayahandamu Prabu Sepuh Mengkuwaseso… Tapi ya jangan terus patah semangat hidupmu, terus ingin bunuh diri begitu, ya Nak…”.
“Sudah… Ibu tidak usah menyenang-nyenangkan saya. Nanti malah makin bikin hati saya makin perih saja! Oh, Ibu… Baru kali ini ada perilaku macan tega memangsa anaknya sendiri… Basoko dimangsa Mengkuwaseso, untuk tumbal tahta Prabu Sancoyo. Hmm! Mana ada, orang tua jingkrak-jingkrak kegirangan di atas kesengsaraan anak…!?”.
“Anakku, Basoko…”.
“Jangan menyela, Ibu… Belum selesai saya berbicara… Ibu… Orang hidup aka nada gunanya jika orang lain mau mengakui hak wewenangnya, dan mau menghormati harga dirinya…Hmm! Ibu Ajengastuti tahu, to?! Saya sudah kehilangan hak wewenangdan harga diri!... Maka untuk apa saya hidup, Ibu? Untuk apa…?! Toh lebih berharga jika saya mati membela hak wewenang saya dan harga diri?!”.
“Ada hak wewenang, tapi juga ada kewajiban, Nak… Dua-duanya harus seimbang, tidak boleh berat sebelah…. Demikian juga, Nak Basokoharus ingat… Harga diri dari budi pekerti. Bukan dari siapa-siapa, tetapi dari dirimu sendiri, Nak…”.
“Tujuan Ibu?! Saya harus rela, menerima, dan iklas…seperti nasehat Ibu kemarin itu?!”.
“Iya…! Sebab dirimu, sesungguhnya tidak memiliki hak wewenang tahta raja, Nak!”.
“Ha! Kenapa, Ibu?!”.
“Dirimu bukan putra rja Pandhawan… dirimu bukan anak Prabu Sepuh Mengkuwaseso, Nak…!”.
Mendengar jawaban ibunya yang demikian, Pangeran Basoko luluh bagai tersambar geledek. Ia berlutut, memeluk kaki Permaisuri Sepuh Ajengastuti.
Sejenak kemudian, Permaisuri Sepuh Ajengastuti perlahan-lahan berbalik kanan. Seperti teringat masa lalu yang selama ini dipendamnya dalam-dalam.
“Lalu, siapa Ayahanda saya, Ibu?... Siapa?!...”.
“Jangan salah paham ya, Nak Basoko… Terpaksa saya harus membuka rahasia ini. rahasia yang sudah hampir setengah abad saya simpan rapat-rapat…”.
Permaisuri Sepuh Ajengastuti terhenti sejenak, kemudian…
“Sesungguhnya, sesungguhnya… dirimu itu putra Tumenggung Bagaswaras, Nak Basoko…!”.
“Tumenggung Bagaswaras?!!”, Pangeran Basoko terkejut minta ampun.
“Lalu, sekarang di mana Ayahanda Tumenggung Bagaswaras itu, Ibu?...”.
Permaisuri Sepuh Ajengastuti justru menangis pilu.
“Anakku Basoko… Bagai tersayat-sayat hatiku, jika Ibu teringat kejadian masa lalu itu, Anakku… Ibu teramat menyesali. Karena Ibu merasa ikut berdosa besar… Padahal sejatinya Ibu tahu bahwa kesengsaraan dan kebahagiaan itu seperti roda gerobag yang selalu ikut kemana saja arah sapi yang menariknya…. Kesengsaraan bakal timbul oleh adanya kebahagiaan…”.
“Aduh, Ibu Ajengastuti… Ibu jangan menambah bingung pikiran saya, Ibu… Yang saya butuhkan itu hanya keterangan Ibu, bab Ayahanda sejati, Ayah Tumenggung Bagaswaras… Tapi Ibu kok malah menangis…”.
“Anakku Basoko… Ketika kamu masih berada di dalam kandungan, Ayahandamu Tumenggung Bagaswaras dibunuh oleh Prabu Mengkuwaseso… Hanya karena Prabu Mengkuwaseso ingin mengambil istri perempuan yang wjudnya seperti Ibumu, ya aku ini, Nak…!”.
Kontan saja meledaklah tangis Pangeran Basoko sembari memeluk erat-erat ibunya, Permaisuri Sepuh Ajengastuti. Ibu dan anak itu saling berbagi duka. Berderai air matanya. Pun Gemboslewaslewos, mewak-mewek menangis tak henti-henti.
Sejenak kemudian Pengeran Basoko sedikit mampu menenangkan dirinya dan perlahan-lahan melepaskan pelukannya pada Ibunya.
“Ayah Tumenggung Bagaswaras dibunuh Prabu Mengkuwaseso, Ibu.. Maka, sebagai tanda bakti saya kepada mendiang Ayahanda Tumenggung Bagaswaras, saya harus membalaskannya… Prabu Sepuh Mengkuwaseso harus saya bu..!”.
“Jangan! Jangan, Basoko!... Kamu jangan gegabah!… Berani melawan Ayahmu, Prabu sepuh Mengkuwaseso sama halnya menyetor nyawa… Sebab, Ayahmu Prabu Sepuh Mengkuwaseso memiliki senjata Kyai Janur Kuning. Dan, tidak ada gunanya kamu balas dendam… Semua itu sudah menjadi takdir. Apalagi, permusuhan tidak akan selesai dengan permusuhan. Tetapi justru permusuhan itu akan hilang dengan rasa cinta kasih, Anakku… Sudah ya, Anakku… Ibu kembali ke Rumah Kasepuhan Timur. Ingat, perhatikan nasihat Ibu tadi…!”.
Sambil menyusut air mata, Permaisuri Sepuh Ajengastuti meninggalkan Pangeran Basoko.
Sementara Pangeran Basoko member isyarat Gemboslewaslewos untuk mendekat. Selanjutnya mereka terlibat bisik-bisik penting. Rupanya Gemboslewaslewos diperintah untuk mempersiapkan para muda keamanan Kesatriyan Basokan mengawal Pangeran Basoko yang hendak mencuri Kyai Janur kuning.
BERSAMBUNG.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H