Mohon tunggu...
Zulkarnain ElMadury
Zulkarnain ElMadury Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Lahir di Sumenep Madura

Hidup itu sangat berharga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan Bersama Buya Risman

17 November 2024   15:15 Diperbarui: 17 November 2024   18:52 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Masjid At-Tanwir Muhammadiyah 

Pagi itu tahun 1989, angin sejuk mengalir melewati celah-celah jendela di sebuah surau kecil. Di sanalah pertama kali aku bertemu Buya Risman Muchtar, seorang dai yang keilmuannya menjulang tinggi seperti gunung. Sosoknya bersahaja, dengan kopiah hitam khasnya dan senyuman yang menenangkan. Ketika itu, aku hanyalah seorang pemuda yang baru bergabung dengan Muhammadiyah. Namun, sejak melihat beliau mengkaji kitab Al-Islam karya Said Hawa dengan penuh khidmat, aku tahu bahwa beliau bukan sosok biasa.


Hubunganku dengan Buya Risman perlahan menjadi akrab, meski awalnya aku hanya menjadi pendengar setia setiap kali beliau berbicara. Waktu berjalan, aku sering melihat beliau berdiskusi dengan Buya Anhar Burhanuddin, seorang tokoh besar lainnya. Aku mulai merasa nyaman di lingkaran ini, seperti menemukan keluarga baru dalam dunia dakwah.

Namun, ada satu peristiwa yang hingga kini selalu menggoreskan sedikit rasa sesal dalam hati. Saat gempa melanda Nias, aku mendapat tugas penting untuk membantu koordinasi bantuan. Sayangnya, tepat di hari-hari itu, ayahku wafat. Dunia rasanya runtuh. Aku terpaksa meninggalkan tugas yang sudah dipercayakan kepadaku, dan akibatnya, aku mengecewakan Buya Risman. Meski beliau memaklumi situasiku, aku tetap merasa bersalah.

Hubunganku dengan beliau makin erat ketika suatu hari aku mendapati namaku masuk dalam daftar tamu Raja Fahed bin Abdul Aziz untuk melaksanakan ibadah haji. Aku tak percaya. Perjalanan ini menjadi momen yang tak terlupakan, karena aku bisa bersama Buya Risman, menyaksikan Ka'bah dari dekat, dan mendengar nasihat-nasihat beliau yang mendalam selama di tanah suci.

"Zulkarnain," kata beliau saat kami berjalan di pelataran Masjidil Haram, "perjalanan haji ini bukan sekadar ibadah, tapi juga pembuktian. Kita harus menjadi Muslim yang lebih baik saat kembali ke tanah air."

Nasihat itu melekat di hati hingga kini.

Namun, bukan hanya dalam ibadah haji kenangan itu tercipta. Di masa sulit, ketika aku terhimpit utang akibat penyakit demam berdarah yang menjeratku, Buya Risman kembali menunjukkan kepeduliannya. Sebagai wakil ketua lembaga dakwah khusus PP Muhammadiyah, beliau dengan tangan terbuka menandatangani permohonan bantuan yang kuajukan ke Lazismu. Bantuan itu menyelamatkan hidupku.

Kami juga sering terlibat dalam diskusi-diskusi hangat di kantor Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Salah satu momen yang tak kulupakan adalah ketika menjelang Muktamar Muhammadiyah di Surakarta. Kami berbincang panjang lebar tentang suksesi kepemimpinan dan pentingnya menghadapi aliran-aliran sesat yang mulai menyusup ke tubuh organisasi.

"Zulkarnain," kata beliau di akhir diskusi, "kita tidak hanya berbicara soal kepemimpinan, tapi soal warisan. Apa yang kita lakukan hari ini adalah untuk masa depan generasi Muhammadiyah."

Buya Risman bukan hanya seorang tokoh bagiku. Beliau adalah guru, teman diskusi, dan panutan. Banyak kenangan manis dan pelajaran hidup yang kuterima dari beliau. Hingga kini, setiap kali aku mengingat beliau, rasanya seperti membuka kembali halaman-halaman sebuah buku yang penuh hikmah.

Semoga Allah selalu merahmati beliau, dan semoga aku bisa terus meneladani ketulusan dan perjuangan beliau untuk umat.


Diskusi menjelang Muktamar Muhammadiyah di Surakarta itu adalah salah satu momen yang paling membekas dalam ingatanku. Malam itu, di sebuah ruangan sederhana di kantor Majelis Tabligh, Buya Risman tampak lebih banyak diam. Biasanya, beliau selalu aktif memberikan pendapat atau menyampaikan pandangan yang tajam. Namun, malam itu berbeda. Wajahnya penuh dengan guratan keprihatinan, seolah ada beban berat yang sedang beliau pikul.

"Ada apa, Buya?" tanyaku akhirnya memecah keheningan.

Beliau menghela napas panjang sebelum menjawab. "Zulkarnain, aku merasa Muhammadiyah ini seperti perahu yang sedang dihantam gelombang dari berbagai arah. Kita punya prinsip, punya manhaj, tapi belakangan ini, paham-paham luar mulai menyusup, mencoba merusak dasar yang kita bangun dengan susah payah. Kalau dibiarkan, aku khawatir perahu ini akan oleng."

Aku tertegun mendengar ucapan itu. Beliau jarang sekali mengeluh, apalagi tentang keadaan Muhammadiyah. Selama ini, beliau dikenal sebagai sosok yang tegar dan optimis. Namun, malam itu aku melihat sisi lain dari Buya Risman---seorang pemimpin yang sedang dilanda kesedihan mendalam.

"Kebijakan-kebijakan yang dibuat Muhammadiyah mulai terganggu, Zulkarnain," lanjutnya. "Aliran-aliran yang tidak sesuai dengan manhaj kita mencoba menarik orang-orang kita, bahkan para intelektual kita. Kalau ini terus terjadi, aku takut Muhammadiyah kehilangan identitasnya. Kita harus melakukan sesuatu."

Aku hanya bisa mengangguk, merasakan keresahan yang sama.

Buya Risman kemudian berbicara tentang harapannya pada Muktamar kali ini. Beliau berharap akan ada suksesi kepemimpinan yang mampu membawa perubahan. "Kita butuh pemimpin yang benar-benar memahami prinsip Muhammadiyah, yang bisa menjaga umat dari pengaruh paham-paham luar yang merusak."

Namun, aku bisa merasakan kekecewaan dalam nada suaranya. Seolah-olah, di balik harapannya itu, beliau juga menyimpan kekhawatiran bahwa perubahan yang diinginkan tidak akan mudah terjadi.

"Aku hanya ingin Muhammadiyah tetap kokoh," katanya akhirnya. "Kokoh di atas prinsip al-Quran dan as-Sunnah, tanpa tergoda oleh tarikan-tarikan politis atau pengaruh luar. Tapi aku tahu, ini perjuangan yang panjang."

Malam itu, aku pulang dengan hati yang berat. Melihat kesedihan Buya Risman membuatku sadar bahwa perjuangan untuk menjaga kemurnian manhaj Muhammadiyah bukanlah perkara kecil. Ini adalah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh setiap kader dan pemimpin Muhammadiyah.

Dan meskipun Buya Risman terlihat sedih malam itu, aku tahu beliau tidak akan pernah berhenti berjuang. Beliau adalah seorang pejuang sejati, yang akan terus berusaha menjaga perahu Muhammadiyah tetap berlayar di jalur yang benar, meski gelombang terus menghantam.

Ketika kabar itu sampai di telingaku, aku merasakan kesedihan yang mendalam. Buya Risman, seorang ulama yang selama ini menjadi garda terdepan di Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, kini digeser ke posisi yang, bagi banyak orang, dianggap kurang strategis untuk dakwahnya. Beliau kini menjadi Wakil Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah.

Aku tahu, perubahan ini tidak akan menggoyahkan semangat dakwah Buya Risman, tetapi tak bisa kupungkiri bahwa ada perasaan janggal. Apakah ini bagian dari fenomena Muhammadiyah yang sedang bergulat dengan dinamika internalnya? Ataukah ini sekadar keputusan organisatoris tanpa maksud tertentu?

Dalam salah satu pertemuan kami setelah itu, aku mencoba menanyakan langsung kepada beliau.

"Bagaimana perasaan Buya setelah perubahan ini?" tanyaku hati-hati.

Beliau tersenyum tipis, seperti biasa, penuh kebijaksanaan. "Zulkarnain, dakwah itu tidak bergantung pada posisi. Kalau kita benar-benar ingin melayani umat, Allah akan menunjukkan jalan, di mana pun kita berada. Majelis Pemberdayaan Masyarakat ini mungkin dianggap kurang strategis oleh sebagian orang, tapi justru di sini aku merasa punya kesempatan untuk berbuat lebih bagi mereka yang membutuhkan."

Kata-kata beliau membuatku terdiam. Ternyata, beliau melihat peluang dakwah di setiap keadaan.

Namun, aku tahu ada hal yang mengganjal di hatinya. Dalam diskusi-diskusi kami, beliau sering menyampaikan keprihatinannya terhadap fenomena di Muhammadiyah. Salah satunya adalah kurangnya perhatian pada dakwah strategis di tengah masyarakat yang terus berubah.

"Aku ingin Muhammadiyah lebih aktif menggunakan media sosial," katanya suatu ketika. "Media itu punya kekuatan besar untuk membentuk opini dan menyebarkan dakwah. Tapi banyak di antara kita yang belum paham cara memanfaatkannya dengan bijak."

Beliau juga menekankan pentingnya memperkuat kode etik dakwah Islam wasathiyah. "Kita ini ulama, Zulkarnain. Tugas kita melindungi umat (himayatul ummah) dan sekaligus menjadi penasihat pemerintah (shodiqul hukumah). Tapi kalau kita kehilangan prinsip wasathiyah, dakwah kita bisa kehilangan arah."

Meski telah digeser ke posisi baru, Buya Risman tetap aktif. Salah satu momen penting yang masih kuingat adalah ketika beliau menjadi narasumber dalam Kajian Ahad Pagi di Masjid At-Tanwir PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, pada 3 November 2024. Dengan tema Makna dan Hakikat Shalat Menurut Al-Quran dan Sunnah, beliau berbicara dengan penuh semangat, seolah tidak ada yang berubah dalam komitmennya terhadap dakwah.

"Salah satu cara kita mendekatkan umat kepada Islam adalah dengan shalat," ujar beliau dalam kajian itu. "Shalat bukan sekadar ibadah fisik, tapi juga sarana memperkuat hubungan dengan Allah dan membangun kesadaran sosial di tengah umat."

Buya Risman juga dikenal atas perannya yang kolaboratif. Dalam beberapa kesempatan, beliau mengapresiasi pemerintah atas kerja samanya dengan Muhammadiyah. Namun, beliau tetap kritis, terutama terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada umat.

Fenomena Muhammadiyah atau Ujian Pribadi?

Aku tidak tahu pasti apakah pergeseran Buya Risman dari Majelis Tabligh ke Majelis Pemberdayaan Masyarakat adalah bagian dari fenomena internal Muhammadiyah, di mana paham-paham luar mulai memengaruhi arah organisasi. Ataukah ini sekadar ujian pribadi yang harus beliau hadapi sebagai seorang pejuang dakwah?

Yang jelas, Buya Risman tidak pernah berhenti. Beliau terus menjalankan amanahnya, bahkan di tengah keterbatasan dan tantangan. Aku belajar banyak dari beliau tentang arti ketulusan dalam berjuang.

Buya Risman adalah contoh nyata seorang ulama yang tidak bergantung pada posisi untuk menjalankan dakwah. Beliau mengajarkan bahwa kekuatan dakwah tidak terletak pada jabatan, tetapi pada niat dan kesungguhan hati untuk melayani umat.

Epilog

Kenangan itu selalu mengingatkanku bahwa perjuangan ini belum selesai. Suara dan harapan Buya Risman masih terngiang di telingaku, menjadi pengingat bahwa aku, dan kita semua, punya tanggung jawab untuk melanjutkan apa yang beliau perjuangkan. Semoga Allah selalu menguatkan kita, dan semoga Muhammadiyah tetap kokoh sebagai mercusuar umat.
Hingga kini, aku masih sering merenungkan kata-kata Buya Risman. Beliau adalah salah satu sosok yang menginspirasi perjalananku dalam dakwah. Meskipun posisi beliau telah bergeser, semangatnya tetap menyala. Dan aku yakin, di mana pun beliau berada, dakwah Muhammadiyah akan tetap berjalan, sebagaimana cita-cita luhur yang selalu beliau perjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun