Mohon tunggu...
Khalila FatimatuzZahra
Khalila FatimatuzZahra Mohon Tunggu... Dokter - Mahasiswa Kedokteran Universitas Airlangga

I am Khalila Fatimatuz Zahra (18), a Medical Student at Airlangga University. I have a great interest in the medical world. Aspiring to become a doctor with an interest in the specialty of eyes and children. During my studies, I developed research skills by solving problems critically and providing solutions through several science and technology research projects.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mahal dan Kurang Nyaman: Dilema Layanan Kesehatan di Indonesia Buat Warga Berobat ke LN. Bagaimana Solusi Pemerintah

8 Januari 2025   23:15 Diperbarui: 8 Januari 2025   23:08 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unggahan pengguna laman X (twitter) @shyscia spanduk berisi ajakan berobat di negara Malaysia terpasang di depan gedung Kedutaan Besar Malaysia untuk 

Baru-baru ini, perhatian publik tersita oleh spanduk yang terpampang di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Spanduk itu diunggah oleh seorang pengguna laman X (dulunya twitter) yang memuat pesan mencolok: "Mau Berobat? Ke Malaysia Aja. Lebih Dekat, Lebih Terjangkau." Lokasinya yang berdekatan dengan kantor Kementerian Kesehatan seakan menggarisbawahi ironi besar dalam layanan kesehatan Indonesia.

Ternyata bukanlah sebuah fenomena asing. Sebelumnya, pada bulan April 2024 Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo bahkan mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa lebih dari 1 juta warga Indonesia memilih bepergian ke luar negeri setiap tahunnya untuk mendapatkan perawatan medis.

"Ini bolak-balik saya sampaikan, satu juta lebih warga negara kita Indonesia berobat ke luar negeri," Jokowi di Raker Kesnas 2024 di ICE BSD, Tangerang, Rabu (24/4).

Bahkan, Jokowi juga menyatakan bahwa negara telah dirugikan dengan adanya fenomena masyarakat yang berobat ke luar negeri.

"Kita kehilangan 11,5 Miliar USD, kalau dirupiahkan Rp180 triliun hilang. Karena warga kita tidak mau berobat di dalam negeri," kata Jokowi.

Tidak tanggung-tanggung, angka ini diperkirakan menyebabkan potensi devisa hilang hingga Rp180 triliun. Lantas, apa yang membuat masyarakat lebih memilih berobat ke negara lain?

Faktor Biaya yang Mencekik

Salah satu alasan utama adalah tingginya biaya pengobatan di Indonesia. Dilansir dari Kompas.com, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan bahwa harga obat di dalam negeri bisa mencapai 150% hingga 500% lebih mahal dibandingkan Malaysia atau Singapura. Sebagai contoh, operasi bypass jantung di Penang hanya membutuhkan sekitar Rp200 juta, sementara di rumah sakit ternama Jakarta bisa mencapai Rp500 juta. Apa yang menyebabkan harga obat begitu tinggi di Indonesia?

1. Rantai Pasok yang Panjang

Proses distribusi obat di Indonesia melibatkan banyak pihak, mulai dari produsen, distributor, hingga pengecer. Setiap mata rantai ini menambahkan margin keuntungan, yang akhirnya membebani konsumen. Meski ada regulasi untuk mengontrol harga, implementasinya di lapangan masih jauh dari optimal.

2. Ketergantungan Impor

Sebanyak 90% bahan baku obat dan alat kesehatan di Indonesia berasal dari luar negeri. Pajak impor, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea masuk, semakin memperparah tingginya harga obat. Bahkan, alat kesehatan tertentu dikenakan pajak barang mewah, sehingga biaya layanan kesehatan di dalam negeri melonjak drastis. Dilansir dari Bisnis.com, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Herrmawan Saputra, mengungkap bahwa salah satu penyebab utama tingginya biaya kesehatan di Indonesia adalah ketergantungan pada alat kesehatan dan bahan baku farmasi. "Ini jadi problem utama, karena itu kena pajak tinggi termasuk pajak setara barang mewah. Selama kita menerapkan pajak tinggi pada alat kesehatan dan farmasi, utility cost pricing layanan kesehatan akan tetap tinggi," ungkap Hermawan kepada Bisnis, Minggu (18/8/2024).

3. Inflasi Medis

Tingginya inflasi di sektor kesehatan turut memengaruhi biaya operasional rumah sakit dan premi asuransi. Tahun ini saja, rata-rata premi asuransi kesehatan naik 20-30%. Di sisi lain, BPJS Kesehatan juga berencana menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seiring dengan rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan dimulai tahun depan. Tentunya, hal ini semakin membebani masyarakat.

Pelayanan dan Komunikasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang Dinilai Lebih Baik di Luar Negeri

Tidak hanya biaya, kualitas pelayanan kesehatan di luar negeri dianggap lebih unggul. Banyak pasien Indonesia mengaku merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan dokter di Malaysia atau Singapura. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Adib Khumaidi, bahkan mengakui bahwa kemampuan komunikasi dokter Indonesia perlu ditingkatkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Di sisi lain, framing negatif terhadap profesi dokter dalam negeri turut memperburuk situasi. "Saat ini ada framing negatif profesi dokter di Indonesia, di dalam sebuah kondisi manapun, hal ini akan menjadi pekerjaan rumah kita, mari kita ajak semua dokter untuk meningkatkan pelayanannya, menjadi dokter yang baik, kompeten, dan beretika," ujar dr. Adib dalam konferensi pers HUT IDI, Kamis (24/10/2024).

Sebagai seorang dokter dan sejawatnya, komunikasi yang efektif merupakan elemen penting dalam pelayanan kesehatan. Ketika pasien merasa dipahami dan mendapatkan penjelasan yang jelas dari tenaga medis, mereka akan merasa lebih percaya pada pengobatan yang diberikan. Sayangnya, hal ini masih menjadi titik lemah dalam layanan kesehatan Indonesia. Banyak pasien mengeluhkan minimnya empati atau kemampuan dokter dalam menjelaskan kondisi medis mereka dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Langkah awal untuk meningkatkan kepercayaan adalah dengan fokus pada kemampuan komunikasi tenaga kesehatan. Edukasi dan pelatihan komunikasi yang baik bagi dokter dan tenaga medis lainnya harus menjadi prioritas. Tidak hanya soal penyampaian informasi medis, tetapi juga tentang membangun hubungan emosional dengan pasien.

Di luar masalah komunikasi, peningkatan kompetensi tenaga medis juga menjadi langkah krusial. Pelatihan berkelanjutan dan akses terhadap teknologi medis terbaru akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Dengan ini, dokter-dokter di dalam negeri diharapkan dapat memberikan pelayanan yang setara dengan dokter-dokter di luar negeri, bahkan dalam kasus yang lebih kompleks.

Solusi Pemerintah bagi Tantangan Layanan Kesehatan di Indonesia melalui Pencetusan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023

Dalam menghadapi fenomena diatas, pemerintah tentunya berusaha menjawab tantangan ini melalui pencetusan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang bertujuan memperbaiki akses dan kualitas layanan kesehatan dalam negeri. Untuk bersaing dengan layanan kesehatan luar negeri, Indonesia perlu mempercepat transformasi di sektor ini. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 adalah langkah awal yang baik, tetapi implementasi efektif di lapangan menjadi kunci keberhasilannya. Berikut beberapa langkah solutif yang diusulkan melalui kebijakan ini:

1. Menurunkan Harga Obat dan Alat Kesehatan

Pasal 327 Ayat 1 dalam UU Kesehatan menggarisbawahi pentingnya menurunkan harga obat dan alat kesehatan dengan mengurangi ketergantungan impor. Kebijakan ini mendorong pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri melalui insentif fiskal, dukungan riset, serta kemudahan perizinan. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi sejumlah kendala, seperti:

Ketergantungan pada bahan baku impor: Sebanyak 90% bahan baku farmasi masih diimpor, menyebabkan biaya produksi tetap tinggi.

Kurangnya infrastruktur industri farmasi: Investasi besar dan waktu panjang diperlukan untuk membangun kapasitas produksi dalam negeri.

Solusi ini baru akan efektif jika disertai penguatan rantai pasok dan insentif untuk mendukung kemandirian produksi obat dan alat kesehatan lokal. Dengan adanya peraturan ini, pemerintah diharapkan dapat menciptakan ekosistem industri kesehatan yang mandiri dan kompetitif. Maka, masalah biaya layanan kesehatan yang mencekik akan dapat segera teratasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, dilansir melalui akun instagram @ericktohir, Menteri BUMN, Erick Thohir, telah mengambil langkah strategis dengan mendorong pembangunan fasilitas kesehatan berstandar internasional di kawasan ekonomi khusus (KEK) Sanur, Bali. Dengan fasilitas ini, diharapkan Bali tidak hanya menjadi tujuan wisata, tetapi juga pusat layanan kesehatan bagi masyarakat lokal maupun internasional.

2. Menangani Inflasi Medis dengan Pendekatan Promotif dan Preventif

UU Kesehatan juga mengutamakan pendekatan promotif dan preventif (Pasal 1, Poin 2) untuk mengurangi angka pasien yang membutuhkan perawatan intensif. Strategi ini melibatkan edukasi kesehatan masyarakat, pencegahan penyakit menular, serta promosi gaya hidup sehat. Namun, efektivitas program ini masih terkendala oleh:

Ketidakmerataan akses kesehatan di daerah terpencil: Banyak wilayah yang minim fasilitas kesehatan dan tenaga medis.

Kurangnya edukasi kesehatan: Pola hidup tidak sehat masih menjadi masalah di banyak lapisan masyarakat.

Dalam hal ini, pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk program preventif, memperkuat infrastruktur kesehatan di daerah terpencil, dan melakukan kampanye edukasi kesehatan yang masif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun