Baru-baru ini, perhatian publik tersita oleh spanduk yang terpampang di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Spanduk itu diunggah oleh seorang pengguna laman X (dulunya twitter) yang memuat pesan mencolok: "Mau Berobat? Ke Malaysia Aja. Lebih Dekat, Lebih Terjangkau." Lokasinya yang berdekatan dengan kantor Kementerian Kesehatan seakan menggarisbawahi ironi besar dalam layanan kesehatan Indonesia.
Ternyata bukanlah sebuah fenomena asing. Sebelumnya, pada bulan April 2024 Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo bahkan mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa lebih dari 1 juta warga Indonesia memilih bepergian ke luar negeri setiap tahunnya untuk mendapatkan perawatan medis.
"Ini bolak-balik saya sampaikan, satu juta lebih warga negara kita Indonesia berobat ke luar negeri," Jokowi di Raker Kesnas 2024 di ICE BSD, Tangerang, Rabu (24/4).
Bahkan, Jokowi juga menyatakan bahwa negara telah dirugikan dengan adanya fenomena masyarakat yang berobat ke luar negeri.
"Kita kehilangan 11,5 Miliar USD, kalau dirupiahkan Rp180 triliun hilang. Karena warga kita tidak mau berobat di dalam negeri," kata Jokowi.
Tidak tanggung-tanggung, angka ini diperkirakan menyebabkan potensi devisa hilang hingga Rp180 triliun. Lantas, apa yang membuat masyarakat lebih memilih berobat ke negara lain?
Faktor Biaya yang Mencekik
Salah satu alasan utama adalah tingginya biaya pengobatan di Indonesia. Dilansir dari Kompas.com, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan bahwa harga obat di dalam negeri bisa mencapai 150% hingga 500% lebih mahal dibandingkan Malaysia atau Singapura. Sebagai contoh, operasi bypass jantung di Penang hanya membutuhkan sekitar Rp200 juta, sementara di rumah sakit ternama Jakarta bisa mencapai Rp500 juta. Apa yang menyebabkan harga obat begitu tinggi di Indonesia?
1. Rantai Pasok yang Panjang
Proses distribusi obat di Indonesia melibatkan banyak pihak, mulai dari produsen, distributor, hingga pengecer. Setiap mata rantai ini menambahkan margin keuntungan, yang akhirnya membebani konsumen. Meski ada regulasi untuk mengontrol harga, implementasinya di lapangan masih jauh dari optimal.