Mohon tunggu...
Khadijah NIM 121221012
Khadijah NIM 121221012 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Dian Nusantara

Mahasiswi Universitas Dian Nusantara Tanjung Duren, Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak, Jurusan Akuntansi, Mata Kuliah Akuntansi Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pajak Tangguhan: Keberatan dan Banding

2 Juli 2024   22:45 Diperbarui: 3 Juli 2024   02:26 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pajak Tangguhan: Keberatan dan Banding

Pajak tangguhan adalah pajak yang pembayaran atau pelaporannya ditunda hingga waktu tertentu di masa depan. Hal ini sering terjadi dalam konteks akuntansi pajak di mana penghasilan dan beban diakui pada waktu yang berbeda untuk tujuan pajak dibandingkan dengan pelaporan keuangan. Namun, dalam praktik, wajib pajak seringkali menghadapi situasi di mana mereka tidak setuju dengan keputusan atau penilaian yang dibuat oleh otoritas pajak. Dalam kasus seperti ini, mereka memiliki hak untuk mengajukan keberatan dan, jika perlu, melakukan banding. Berikut ini adalah penjelasan lengkap tentang konsep pajak tangguhan, proses keberatan, dan prosedur banding.

Pajak Tangguhan

Pajak tangguhan umumnya terjadi karena adanya perbedaan waktu antara pengakuan pendapatan dan beban dalam laporan keuangan dan laporan pajak. Terdapat dua jenis pajak tangguhan:

1. Aset Pajak Tangguhan: Ini terjadi ketika perusahaan membayar lebih banyak pajak dalam jangka pendek dibandingkan dengan beban pajak yang diakui dalam laporan keuangan. Aset pajak tangguhan mencerminkan klaim di masa depan terhadap pengurangan beban pajak.

2. Liabilitas Pajak Tangguhan: Ini terjadi ketika perusahaan membayar lebih sedikit pajak dalam jangka pendek dibandingkan dengan beban pajak yang diakui dalam laporan keuangan. Liabilitas pajak tangguhan mencerminkan kewajiban di masa depan untuk membayar pajak tambahan.

Apa keberatan pajak?

Keberatan adalah mekanisme yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bagi Wajib Pajak yang tidak puas dan/atau tidak sependapat terhadap hasil pemeriksaan pajak. Keberatan yang disampaikan Wajib Pajak diajukan atas:

-- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);

-- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

-- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

-- Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); dan

-- Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2013 s.t.d.d. PMK 202/2015, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika Wajib Pajak mengajukan keberatan, yakni:

1. Pengajuan keberatan dilakukan secara tertulis menggunakan bahasa Indonesia;

2. Mengemukakan jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong/dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang menjadi dasar penghitungan;

3. Satu keberatan diajukan hanya untuk satu surat ketetapan pajak, satu pemotongan atau satu pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan kasus keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan;

4. Wajib Pajak sudah melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sesuai dengan jumlah yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam pembahasan hasil akhir, sebelum surat keberatan disampaikan. Persyaratan ini hanya berlaku apabila keberatan diajukan atas kasus pajak kurang bayar;

5. Dapat diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak surat ketetapan pajak dikirim atau sejak terjadi pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Kondisi ini tidak berlaku apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena kondisi yang terjadi di luar kekuasaan Wajib Pajak bersangkutan;

6. Surat keberatan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak. Jika Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, maka keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); dan

7. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU KUP.

Berapa sanksi denda bila keberatan ditolak?

Apabila keputusan dirjen pajak mengabulkan sebagian atau menolak seluruh permohonan keberatan, dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi denda. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sanksi denda keberatan berlaku adalah sebesar 30 persen.

Adapun cara menghitung denda keberatan adalah sebagai berikut:

Sanksi denda keberatan = 30% x (Jumlah pajak pada keputusan keberatan -- jumlah pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan)

Apa itu banding pajak?

Merujuk pada Pasal 1 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding. 

Dalam pelaksanaan banding, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi Wajib Pajak, yaitu:

1. Setiap satu keputusan Wajib Pajak dapat mengajukan satu surat banding;

2. Permohonan banding yang diajukan harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam jangka waktu permohonan pengajuan surat banding, yaitu tiga bulan sejak keputusan keberatan diterima, dan akan dikecualikan bila ada aturan lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

3. Surat banding yang akan diajukan harus dilampiri surat keputusan keberatan yang sudah diputuskan;

4. Pengajuan banding hanya dapat diajukan ketika besarnya jumlah pajak terutang sudah terbayar sebesar 50 persen; dan

5. Wajib Pajak melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP).

Berapa sanksi denda bila banding ditolak?

Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak juga dikenakan sanksi denda. Adapun denda yang berlaku adalah sebesar 60 persen.

Adapun cara menghitung denda akibat putusan banding adalah: Sanksi Denda Banding = 60% x (Jumlah pajak pada Putusan Banding -- jumlah pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan).

Ketentuan Permohonan Banding

Ketentuan pajak dalam proses banding pajak ini diatur dalam Pasal 27 dan 27B UU KUP dan UU Nomor 14 Tahun 2002. Dalam proses pelaksanaan banding pajak, terdapat beberapa syarat yang menjadi acuan beberapa syarat bagi Wajib Pajak dalam mengajukan banding atas pajak terutangnya, antara lain:

1. Setiap 1 keputusan di Surat Keputusan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dapat mengajukan 1 surat banding.

2. Permohonan banding diajukan secara tertulis menggunakan Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas, jangka waktu permohonan pengajuan surat banding yaitu 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima. Akan dikecualikan bila ada aturan lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 

3. Surat banding yang akan diajukan harus dilampiri surat keputusan keberatan yang sudah diputuskan. 

4. Pengajuan banding hanya dapat diajukan ketika besarnya jumlah pajak terutang Wajib Pajak yang dimaksud sudah terbayar 50%. 

5. Wajib Pajak melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP).

Apabila Direktur Jenderal Pajak (DJP) diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, maka DJP harus memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan. Adapun surat tersebut diterbitkan paling lama 1 bulan terhitung sejak permintaan tertulis diterima oleh DJP.  

Orang Yang Dapat Mengajukan Banding  

Berdasarkan Pasal 37 UU 14 Tahun 2002, banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit.

Apabila selama proses permohonan banding, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud. 

Pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Namun Jangka waktu tersebut tidak mengikat, apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon banding.

Implikasi dan Pentingnya Proses Keberatan dan Banding

Proses keberatan dan banding memiliki beberapa implikasi penting bagi wajib pajak dan sistem perpajakan secara keseluruhan:

1. Hak Asasi Wajib Pajak: Proses keberatan dan banding menjamin hak wajib pajak untuk mendapatkan keadilan dan transparansi dalam penilaian pajak. Ini penting untuk menjaga kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan.

2. Peningkatan Kepatuhan Pajak: Dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan, wajib pajak lebih cenderung untuk mematuhi peraturan perpajakan dan memenuhi kewajiban pajak mereka dengan baik.

3. Efisiensi Administrasi Pajak: Proses keberatan dan banding membantu dalam menyaring dan menyelesaikan sengketa pajak secara efisien, mengurangi beban kerja otoritas pajak dan memastikan bahwa keputusan pajak yang dibuat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang proses keberatan dan banding pajak, berikut adalah beberapa studi kasus dan contoh nyata:

1. Kasus Perusahaan Besar: Sebuah perusahaan besar mengalami sengketa pajak terkait dengan penilaian atas penghasilan kena pajak mereka. Otoritas pajak mengeluarkan surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki kewajiban pajak yang lebih besar dari yang dilaporkan. Perusahaan mengajukan keberatan dengan menyertakan laporan keuangan yang telah diaudit dan bukti-bukti pendukung lainnya. Setelah melalui proses peninjauan, otoritas pajak menerima sebagian keberatan tersebut, namun perusahaan tetap merasa tidak puas dan mengajukan banding. Pengadilan pajak akhirnya memutuskan untuk menerima banding perusahaan dan mengurangi kewajiban pajak mereka secara signifikan.

2. Kasus Wajib Pajak Individu: seorang wajib pajak individu mengalami masalah dengan penilaian pajak atas penghasilan mereka dari investasi saham. Otoritas pajak menganggap bahwa wajib pajak tersebut tidak melaporkan seluruh penghasilan mereka dengan benar. Wajib pajak mengajukan keberatan dengan alasan bahwa penilaian pajak tersebut tidak memperhitungkan kerugian investasi yang terjadi. Setelah proses peninjauan, otoritas pajak menolak keberatan tersebut. Wajib pajak kemudian mengajukan banding dan pengadilan pajak memutuskan untuk mendukung klaim wajib pajak, mengakui kerugian investasi dan mengurangi kewajiban pajak mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun