Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman estetika desain terhadap elemen-elemen yang ada pada makam Tionghoa-Katolik di Gunung Sempu, terutama kaitannya dengan tiga sila estetika desain, yaitu Sila Masa Depan, Sila Simbol, serta Sila Tata Nilai dan Tata Peradaban. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi karya ilmiah di bidang studi Desain Komunikasi Visual, terutama tentang kajian estetika desain pada makam.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menggali dan mendeskripsikan hasil kebudayaan berupa makam Tionghoa-Katolik. Data yang diperoleh merupakan hasil dari proses observasi, wawancara, dan kajian literatur sehingga mampu mengungkap makna yang lebih dalam dari segi estetika desain dan konteks sosial budaya yang tercermin dalam objek penelitian.
Adapun teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah teori estetika strukturalisme oleh Robert Stanton. Teori ini membantu memahami bagaimana makna dibangun dalam karya seni, serta menawarkan analisis mendalam terhadap keindahan dan kompleksitas karya.
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian pertama yang digunakan sebagai acuan adalah penelitian yang dilakukan oleh Yana Liza, Firman, dan Rusdinal (2019) yang berjudul “Makna Pemakaman bagi Etnis Tionghoa di Sungai Penuh”. Penelitian yang dilakukan oleh Liza, et al., membahas mengenai tata cara dan rangkaian upacara pemakaman etnis Tionghoa secara umum dengan metode penelitian sejarah yang terbagi dalam empat tahap: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Mulai dari tahapan upacara sebelum jenazah dimakamkan, hingga gaya arsitektur makam itu sendiri, beserta pemaknaannya.
Penelitian kedua yang digunakan sebagai acuan adalah penelitian yang dilakukan oleh Olivia Daisiprima Santoso dan Shinta Devi ISR (2019) yang berjudul “Bisnis di Balik Upacara Kematian Etnis Tionghoa di Surabaya, 1967-1998”. Penelitian yang dilakukan oleh Santoso, et al., membahas tentang bagaimana peran penyedia jasa di bidang bisnis kematian menyebabkan terjadinya perubahan dalam pemaknaan dan pelaksanaan upacara kematian etnis Tionghoa. Pelaksanaan upacara yang awalnya dilakukan secara sukarela kemudian berubah menjadi komersial akibat peraturan pada masa Orde Baru. Munculnya bisnis kematian ini juga mulai digunakan untuk menunjukkan status sosial dan ekonomi sebuah keluarga. Keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi biasanya akan mengadakan upacara yang lebih besar dan mewah.
Penelitian ketiga yang dijadikan pembanding yaitu penelitian yang berjudul “Pemaknaan Bong Pay Pada Warga Keturunan Tionghoa Di Kelurahan Sudiroprajan Surakarta” oleh Demartoto, et al. (2015). Penelitian yang dilakukan di daerah Sudiroprajan tersebut membahas tentang bagaimana masyarakat etnis Tionghoa memaknai bong pay. Bong pay melambangkan bentuk kasih sayang, wujud bakti, sekaligus penghormatan terakhir seseorang atau keluarga terhadap anggota keluarga yang baru saja meninggal. Dalam penelitian tersebut juga membahas pemaknaan prestise pada bong pay. Tidak semua masyarakat etnis Tionghoa mampu secara finansial untuk membuat bong pay.
Penelitian terakhir yang digunakan sebagai acuan adalah penelitian oleh Alvia Fatnaniatus Sokhifah (2018) yang berjudul “Tata Letak Dan Bentuk Pemakaman Masyarakat Etnis Tionghoa Menurut fengshui Di Kawasan Sentong Raya Wonorejo - Lawang”. Penelitian yang dilakukan oleh Sokhifah membahas tentang tata letak serta bentuk pemakaman masyarakat etnis Tionghoa dengan fengshui. Dalam penelitian Sokhifah, ia menjelaskan bahwa bentuk, ornamen, letak, dan bahkan material sebuah makam berkontribusi pada baik atau buruknya fengshui makam tersebut. Diharapkan dengan mengikuti prinsip fengshui, makam leluhur dapat terhindar dari bencana alam, perubahan cuaca ekstrim, serta tidak lekang dimakan waktu.
Dari keempat penelitian tersebut terdapat sejumlah perbedaan mendasar yang ditemukan, seperti metode yang digunakan, lokasi objek yang diteliti, serta tahun penelitian. Pada penelitian pertama oleh Liza, et al. menggunakan metode penelitian sejarah dengan fokus pada Makam Sungai Penuh di Kota Sungai Penuh, Jambi, yang dilakukan pada tahun 2019. Penelitian kedua oleh Santoso dan Shinta juga menggunakan metode sejarah, namun ditinjau dari sudut pandang budaya dan ekonomi, dengan objek kajian berupa Makam Etnis Tionghoa di Surabaya. Penelitian ketiga oleh Demartoto, et al. berfokus pada bidang sosiologi dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik, dengan lokasi penelitian di Kelurahan Sudiroprajan, Surakarta, yang dilakukan pada tahun 2015. Sementara itu, penelitian keempat oleh Sokhifah lebih fokus mengkaji dari sisi budaya dan sejarah dengan lokasi objek penelitian berada di Daerah Sentong Raya, Wonorejo yang dilakukan pada tahun 2018.
Berbeda dengan keempat penelitian tersebut, penelitian ini akan lebih fokus membahas objek makam menggunakan metode kualitatif dalam perspektif estetika desain. Lokasi objek yang dikaji pada penelitian ini yaitu Makam Tionghoa-Katolik di Daerah Gunung Sempu, Bantul, Yogyakarta.
PEMBAHASAN
Makam atau pusara dibangun untuk menandakan bahwa di area tersebut terdapat jenazah yang dimakamkan. Tanpa penanda yang jelas, gundukan tanah saja akan mudah hilang termakan waktu dan kondisi alam. Selain itu, keberadaan makam juga akan memudahkan anggota keluarga untuk berziarah ke makam mendiang.