Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kematian George Floyd, Pelatuk bagi Negeri untuk Kembali Mengevaluasi Brutalisme Aparat terhadap Papua: Bagian Pertama

12 Juni 2020   20:29 Diperbarui: 12 Juni 2020   21:49 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Tude R. Standar ganda orang Indonesia sikapi rasisme [Internet]. Indonesia: Suara Papua; 2020 May [cited 2020 Jun 11]. Available from: https://suarapapua.com/2020/05/29/standar-ganda-orang-indonesia-sikapi-rasisme/

Adegan penahanan seorang pria Afrika-Amerika, George Floyd, oleh anggota polisi AS berkulit putih di Minneapolis tentu sudah terkesan tidak asing lagi bagi sebagian rakyat Indonesia yang tahu menahu perihal kasus Obby Kogoya yang ditangkap saat pengepungan asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pada tahun 2016 silam. Meski aparat yang bertindak sewenang-wenang pada Obby masih “memberkahinya” dengan kesempatan hidup, Obby tetap harus menanggung ketidakadilan hukum yang berlaku, seakan ketidakadilan HAM saja tidaklah cukup.

Berbeda dengan para polisi pelaku pembunuhan George Floyd yang telah dijerat secara hukum, pada kasus Obby, tipu daya aparat yang menjadikan Obby sebagai pelaku penganiayaan petugas dalam narasi bual-bualannya diputuskan bersalah dan divonis 4 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Bagaimana dengan nasib aparat pelaku kekerasan sesungguhnya? Seperti yang sudah-sudah terjadi, lolos tanpa pernah diadili.

Kasus Floyd di AS serta kasus Obby di Indonesia memiliki sebuah kesamaan, keduanya dipandang sebagai “the last straw”. Keduanya menjadi kasus pemantik amarah orang-orang yang selama ini menyaksikan tindakan yang serupa oleh aparat selama bertahun-tahun. Gerakan masyarakat yang bermunculan merupakan wujud pecahnya amarah atas brutalisme aparat yang keadilannya tidak kian dijunjung. Masyarakat yang semulanya berniatan untuk melakukan aksi damai, baik di AS maupun di Indonesia, berujung memperoleh kekerasan atau bahkan penahanan oleh aparat.

“Bangsa kulit hitam menjadi guru bagi semua bangsa di dunia untuk memahami kemanusiaan.”

Kematian Floyd merupakan bentuk konkret dari pencorengan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat yang nyatanya tidak hanya menjadi isu yang dijumpai di Amerika Serikat, tetapi di pelbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Hegemoni media Amerika Serikat telah membantu terbukanya celah bagi isu brutalisme aparat terhadap Papua, isu yang genting namun sering terabaikan, untuk diangkat kembali, dievaluasi, dan dituntut penindaklanjutannya. Penjustifikasian kekerasan fisik oleh aparat atas dasar rasialisme maupun stigma separatisme mesti dilenyapkan adanya.

Brutalisme Aparat sejak Proses “Pengintegrasian” Papua

Apabila ditinjau secara historis, sebelum “berintegrasi” dengan NKRI pada tahun 1969, Papua merupakan wilayah jajahan Belanda, yang disebut Dutch New Guinea. Ibarat mata uang logam, ‘pengintegrasian’ Papua seringkali dikemas dalam dua sisi. Sisi satu menampilkan narasi kepada dunia internasional maupun nasional bahwasanya melalui resolusi PBB №2504/XXIV/1969, ‘pengintegrasian’ Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah berlangsung secara sah. Dalam narasi yang dikemas oleh sisi kedua, terpampang secara signifikan praktik sistem politik aneksasi dan kekerasan aparat dalam proses “pengintegrasian” Papua ke dalam NKRI. Aneksasi sendiri memiliki arti penggabungan suatu wilayah ke dalam unit politik yang sudah ada. Aneksasi identik dengan pencaplokan wilayah secara sepihak tanpa melalui proses kompromi yang melibatkan seluruh pihak yang terkait. Pemaksaan, bersifat sepihak, dan nihilnya kompromi menjadi unsur-unsur dasar pemahaman aneksasi.

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 sebagai realisasi dari Perjanjian New York 1962 merupakan bukti konkret dari eksistensi sistem politik aneksasi serta praktik kekerasan aparat.

“Komunitas internasional menyebutnya sebagai ‘Act of Free Choice’, orang Papua mengingatnya sebagai ‘Act of No Choice.’”

Bertahun-tahun silam sebelum jajak penentuan pendapat Pepera diselenggarakan, pihak militer Indonesia mulai merenggut satu-satu kebebasan bersuara rakyat Papua terkait isu penentuan status politik wilayah Papua tersebut. Salah satu contoh pembantaian yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia terjadi di Manokwari pada tahun 1965. Serangan kelompok pro-kemerdekaan Papua terhadap para serdadu Indonesia memicu balasan yang sangat brutal. Tanpa pandang bulu, pihak militer menembaki setiap orang Papua yang mereka jumpai di Manokwari, termasuk mereka yang tak melakukan kesalahan apapun, yang hanya sekadar melintas di jalan. Padahal, kelompok pro-kemerdekaan Papua tersebut hanyalah sebuah segmen dari masyarakat Papua dan tidak merepresentasikan seluruh penduduk Papua.

Alih-alih terlibat sebagai representasi rakyat Papua, dalam jajak pendapat, tak hanya hak bersuara mereka yang direnggut, hak hidup pula dianggap tak ada nilainya. Jajak pendapat yang semestinya bertujuan memberi payung perlindungan atas hak bersuara rakyat Papua banting setir menjadi sebuah agenda yang terlaksana di bawah ancaman dan intimidasi. Tidak sedikit jumlah rakyat Papua yang dengan sewenang-wenang ditangkap, disiksa, ditahan, dibuang atau bahkan dibunuh oleh aparat.

Tanpa pemberian kesempatan yang merata bagi rakyat Papua, dengan bermodal 1,026 orang sebagai perwakilan suara, pihak pemerintah Indonesia membujuk PBB untuk menyetujui jajak pendapat yang berbuah “pengintegrasian” wilayah. Tentu, meski secara de jure dan de facto telah diakui oleh dunia sebagai bagian dari Indonesia, aksi-aksi penolakan dari rakyat Papua tidak berujung sampai situ. Aksi-aksi penolakan yang kian bermunculan menjadikan Papua sebagai salah satu dari tiga Daerah Operasi Militer (DOM) di Indonesia selain Aceh dan Timor Timur di kala itu. Sambutan “selamat datang di Indonesia” seakan disampaikan dalam wujud sepaket kontrol militer beserta kekerasan-kekerasannya, disiasati dengan alibi “demi menunjang kebijakan pembangunan dan pertahanan.” Tindakan kekerasan oleh aparat terhadap rakyat Papua dipandang sebagai cara yang sahih dalam penyelesaian masalah. Rakyat Papua yang dianggap “bermasalah” diberi stigma sebagai pengkhianat bangsa dan dikonstruksi sebagai “outsiders” yang dianggap boleh ‘dihabisi’ oleh aparat.

Memahami Pola Kekerasan dan Pembunuhan Di Luar Hukum oleh Aparat

Apabila diklasifikasikan ke dalam dua jenis, menurut kasus-kasus yang ada, kekerasan dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat terbagi menjadi kekerasan dan pembunuhan tidak terkait aktivitas politik serta kekerasan dan pembunuhan terkait aktivitas politik.

1. Kekerasan dan Pembunuhan Di Luar Hukum yang Tak Terkait Aktivitas Politik

a. Berhubungan dengan usaha pembubaran kerusuhan pada unjuk rasa terkait konflik masyarakat, ketidakpuasan pada pemerintah, atau sebagai bentuk protes terhadap perusahaan-perusahaan swasta.

Contoh kasus: Penembakan Pekerja Freeport di Timika (2011).

“Kami hanya menuntut kesejahteraan karyawan. Kami bukan penjahat, kenapa kami ditembak? Kami tidak berbuat onar… Kami rekan-rekan pekerja sebagai Warga Negara Republik Indonesia memberikan kontribusi terbesar kepada bangsa dan negara, kenapa ditembak bagaikan binatang?”

b. Berhubungan dengan upaya balas dendam atas kematian atau terlukanya aparat.

Contoh kasus: Kekerasan di Pasar Youtefa (2014).

“Polisi menyeret dua orang ke luar dari dalam mobil dan mulai memukuli kepala dan badan M sambil menanyai tentang pembunuhan petugas polisi serta mengenai senjata api yang hilang. Kepala M ditutupi sehingga ia tidak bisa melihat siapa saja yang memukulnya. Seorang interogator berteriak, “langsung dibunuh buang saja mayatnya.” Polisi memukuli M dengan sesuatu yang menurutnya adalah baton kayu dan gagang pisau. Setelah memukulnya, polisi menggeletakkan M dan temannya ke dalam kolam dan membiarkan mereka berdua dalam kondisi terikat di dalam air selama beberapa jam.”

c. Berhubungan dengan kelakuan buruk aparat secara individu.

Contoh kasus: Pembunuhan Irwan Wenda di Wamena (2013)

“Irwan Wenda, seorang asli Papua dengan keterbelakangan mental berusia 21 tahun, memukul seorang polisi dengan batang tebu yang ia bawa. Polisi itu serta merta masuk ke dalam rumahnya dan kembali menghampiri Irwan dengan membawa senapan. Tanpa peringatan, polisi itu menembak Irwan sebanyak tiga kali pada bagian kaki kiri, perut, dan kepala dari jarak sekitar 2 meter. Saat dua anggota keluarga Irwan diinterogasi, polisi menyuruh keduanya untuk melepas baju dan lalu memukuli mereka. Setelah diinterogasi sekitar satu jam, polisi menempatkan mereka dalam sel tahanan.”

d. Berhubungan dengan penangkapan tersangka kejahatan.

Contoh: Pembunuhan Emerikus Konaikaimu Konakem Di Merauke (2015)

“Emerikus dan seorang temannya yang diduga mabuk menghadang seorang pengendara sepeda motor di jalanan area pemukiman Yobar kemudian merampas kendaraannya secara paksa. Pada pukul 2 siang, polisi menangkap dua orang tersangka tadi di area pemukiman Yobar tanpa mengetahui bahwa mereka telah mengembalikan sepeda motor yang mereka rampas pada pemiliknya. Dua tersangka tadi kabur saat hendak ditangkap. Pada saat pengejaran, polisi menembak Emerikus pada bagian paha. Saat dibawa ke rumah sakit, ia meninggal karena kehabisan darah.”

2. Kekerasan dan Pembunuhan Di Luar Hukum yang Terkait Aktivitas Politik

a. Berhubungan dengan pembunuhan berencana terhadap aktivis pro-kemerdekaan

Contoh kasus: Pembunuhan Hubertus Mabel, Pemimpin Ketua Komite Nasional Papua Barat (2012)

“Polisi menaruh Mabel, yang dituduh melakukan serangkaian penembakan, pada bagian belakang pick up. Setelah berkendara selama sekitar 15 menit, seorang polisi yang mengendarai pick up memberitahu rekannya bahwa Mabel telah berhenti bernapas. Seorang polisi menjawab, “Sudah biarkan kasi tinggal dia mati, kasih tinggal! “

b. Berhubungan dengan upaya membubarkan unjuk rasa yang menuntut kemerdekaan, terutama upacara bendera atau pertemuan untuk memperingati hari-hari besar keagamaan.

Contoh kasus: Penembakan di Desa Wanampompi

“Dalam rangka peringatan 54 tahun pengibaran bendera Bintang Kejora, pendukung gerakan kemerdekaan mengadakan upacara bendera serta mengadakan doa bersama, yang mana merupakan bagian dari hak untuk berserikat dan berkumpul. Setelah bendera mulai dikibarkan dan para peserta upacara mulai bernyanyi, polisi dan tentara berdatangan. Tak lama berselang, para aparat ini mulai menembaki mereka.”

[Bersambung ke Bagian Kedua]

Oleh: Chyntia Diva S.

Referensi

1. Ferninda I, Nazalya S, Marisan F, et al. Penyiksaan di Papua: kekerasan yang terus berlanjut [Internet]. Indonesia: AJAR, TAPOL, EIDHR [cited 2020 Jun 11]. Available from: http://asia-ajar.org/wp-content/uploads/2015/11/Torture-Report-Bahasa.pdf

2. Hermawan B. From ‘stone-age’ to ‘real-time’: exploring Papuan temporalities, mobilities, and religiosities. Indonesia: ANU Press; 2015. Chapter 8, Torture as a mode of governance: reflections on the phenomenon of torture in Papua, Indonesia; p. 195–220.

3. Taum YY. Kekerasan dan konflik di Papua: akar masalah dan strategi mengatasinya. Jurnal Penelitian [Internet]. 2015 Nov [cited 2020 Jun 11]; 19(1):1–13. Available from: https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980

4. Al-Rahab A. Operasi-operasi militer di Papua: pagar makan tanaman [Internet]. [cited 2020 Jun 11]. Available from: http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/viewFile/420/234

5. Use of force: guidelines for implementation of the UN basic principles on the use of force and firearms by law enforcement officials [Internet]. Amsterdam: Amnesty International; 2015. [cited 2020 Jun 11]. Available from: https://www.amnestyusa.org/wp-content/uploads/2017/04/amnesty_international_guidelines_on_use_of_force-2.pdf

6. Pembunuhan dan impunitas di Papua [Internet]. Jakarta: Amnesty International Indonesia; 2018. [cited 2020 Jun 11]. Available from: https://www.amnesty.org/download/Documents/ASA2181982018INDONESIAN.PDF

7. Tobing L. Jika polisi melakukan kekerasan kepada masyarakat [Internet]. Indonesia: HukumOnline; 2014 [cited 2020 Jun 11]. Available from: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53c01f86596bb/jika-polisi-melakukan-kekerasan-kepada-masyarakat/

8. Tude R. Standar ganda orang Indonesia sikapi rasisme [Internet]. Indonesia: Suara Papua; 2020 May [cited 2020 Jun 11]. Available from: https://suarapapua.com/2020/05/29/standar-ganda-orang-indonesia-sikapi-rasisme/

9. Santoso B, Aranditio S. Aktivis: kasus George Floyd di AS tak beda jauh dengan rasisme Papua [Internet]. Indonesia; 2020 Jun [cited 2020 Jun 11]. Available from: https://www.suara.com/news/2020/06/01/075544/aktivis-kasus-george-floyd-di-as-tak-beda-jauh-dengan-rasisme-papua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun