Alih-alih terlibat sebagai representasi rakyat Papua, dalam jajak pendapat, tak hanya hak bersuara mereka yang direnggut, hak hidup pula dianggap tak ada nilainya. Jajak pendapat yang semestinya bertujuan memberi payung perlindungan atas hak bersuara rakyat Papua banting setir menjadi sebuah agenda yang terlaksana di bawah ancaman dan intimidasi. Tidak sedikit jumlah rakyat Papua yang dengan sewenang-wenang ditangkap, disiksa, ditahan, dibuang atau bahkan dibunuh oleh aparat.
Tanpa pemberian kesempatan yang merata bagi rakyat Papua, dengan bermodal 1,026 orang sebagai perwakilan suara, pihak pemerintah Indonesia membujuk PBB untuk menyetujui jajak pendapat yang berbuah “pengintegrasian” wilayah. Tentu, meski secara de jure dan de facto telah diakui oleh dunia sebagai bagian dari Indonesia, aksi-aksi penolakan dari rakyat Papua tidak berujung sampai situ. Aksi-aksi penolakan yang kian bermunculan menjadikan Papua sebagai salah satu dari tiga Daerah Operasi Militer (DOM) di Indonesia selain Aceh dan Timor Timur di kala itu. Sambutan “selamat datang di Indonesia” seakan disampaikan dalam wujud sepaket kontrol militer beserta kekerasan-kekerasannya, disiasati dengan alibi “demi menunjang kebijakan pembangunan dan pertahanan.” Tindakan kekerasan oleh aparat terhadap rakyat Papua dipandang sebagai cara yang sahih dalam penyelesaian masalah. Rakyat Papua yang dianggap “bermasalah” diberi stigma sebagai pengkhianat bangsa dan dikonstruksi sebagai “outsiders” yang dianggap boleh ‘dihabisi’ oleh aparat.
Memahami Pola Kekerasan dan Pembunuhan Di Luar Hukum oleh Aparat
Apabila diklasifikasikan ke dalam dua jenis, menurut kasus-kasus yang ada, kekerasan dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat terbagi menjadi kekerasan dan pembunuhan tidak terkait aktivitas politik serta kekerasan dan pembunuhan terkait aktivitas politik.
1. Kekerasan dan Pembunuhan Di Luar Hukum yang Tak Terkait Aktivitas Politik
a. Berhubungan dengan usaha pembubaran kerusuhan pada unjuk rasa terkait konflik masyarakat, ketidakpuasan pada pemerintah, atau sebagai bentuk protes terhadap perusahaan-perusahaan swasta.
Contoh kasus: Penembakan Pekerja Freeport di Timika (2011).
“Kami hanya menuntut kesejahteraan karyawan. Kami bukan penjahat, kenapa kami ditembak? Kami tidak berbuat onar… Kami rekan-rekan pekerja sebagai Warga Negara Republik Indonesia memberikan kontribusi terbesar kepada bangsa dan negara, kenapa ditembak bagaikan binatang?”
b. Berhubungan dengan upaya balas dendam atas kematian atau terlukanya aparat.
Contoh kasus: Kekerasan di Pasar Youtefa (2014).
“Polisi menyeret dua orang ke luar dari dalam mobil dan mulai memukuli kepala dan badan M sambil menanyai tentang pembunuhan petugas polisi serta mengenai senjata api yang hilang. Kepala M ditutupi sehingga ia tidak bisa melihat siapa saja yang memukulnya. Seorang interogator berteriak, “langsung dibunuh buang saja mayatnya.” Polisi memukuli M dengan sesuatu yang menurutnya adalah baton kayu dan gagang pisau. Setelah memukulnya, polisi menggeletakkan M dan temannya ke dalam kolam dan membiarkan mereka berdua dalam kondisi terikat di dalam air selama beberapa jam.”