"Ya, memang. Dia sudah banyak memberi hal-hal berharga untuk saya. Saya ingin membalasnya, tapi saya bingung. Saya nggak tau caranya."
Alfath mengerutkan dahi, menghisap rokoknya dalam-dalam untuk memberi bahan bakar otaknya supaya syaraf-syarafnya bekerja dengan optimal. "Adakah hal sederhana yang dia sukai? Biasanya hadiah yang sederhana itu terasa lebih manis."
"Tempo lalu, waktu kami masih sama-sama kuliah, dia sering mengajak saya minum milkshake!," jawab Yudha. "Iya juga, ya. Kenapa selama ini saya nggak terpikir untuk memberinya milkshake buatanku sendiri?"
Pendapat orang lain memang kadang solutif. Orang lain berpikir dengan cara yang sederhana karena itu bukan pengalaman dia. Jadi dia berpikir lebih rasional dan sederhana. Tapi apakah solusi dari persoalanku juga sesederhana itu?, pikir Alfath.
Yudha menangkap perubahan air muka Alfath. "Ada yang mengganggu pikiranmu, ya, Al?"
Alfath tidak menjawab.
"Mungkin kita bisa tukeran solusi."
"Ya," akhirnya Alfath menjawab. "Ini juga masalah keluarga, Om." Alfath menceritakan masalahnya kepada Yudha. Walau pun Yudha ini orang asing, tapi, toh, mungkin dia hanya sekali ini bertemu Yudha.
"Kenapa kamu nggak pererat hubunganmu dengan kakakmu? kan mumpung dia belum menikah. Mumpung dia masih tinggal di rumah orang tua."
Benar juga, walau pun sibuk kerja, paling tidak kakak masih tinggal di rumah. Kita bisa cari waktu luang, pikir Alfath. Tapi Alfath masih kurang yakin. Enam tahun lamanya dia tidak bertemu kakaknya. Pasti kakaknya sudah banyak berubah.
"Kalian dulu paling senang main apa?," tanya Yudha.