Fix, usianya pasti 40 tahun atau lebih, pikir Alfath.
"Kamu sudah baca ini?," tanya Yudha. Dia menunjukkan layar ponselnya kepada Alfath.
Alfath membaca judul sebuah file audio "Sang Alkemis." Yang benar saja!, pikir Alfath. "Ya, saya sudah baca ini." Dia juga membaca tulisannya Paulo Coelho?
"Kalau gitu, kita nggak perlu dengar secara linear."
Yudha memasang headset sebelah, dan memberikan sebelah yang lain kepada Alfath. Yudha memutar audio-book-nya langsung ke bagian ketika Santiago dan rombongan karavan menempuh perjalanan panjang di gurun.
Alfath pernah mendengar suara narator ini. Ini suara yang sama dengan yang diputar di bus.
Narator menceritakan bagaimana Santiago berguru dengan padang pasir. Alfath mendengarkan sambil melihat jendela. Malam itu langit tak berawan. Bintang-bintang tampak jelas. Kata-kata yang mengalir dari narator menciptakan imaji-imaji tentang padang pasir yang meliuk-liuk seperti ombak yang tableau; rombongan karavan yang berjalan di tengah keheningan karena sudah kehabisan bahan obrolan; malam berbintang, navigator bagi pemandu karavan; wajah-wajah yang menjadi cemas setiap mendengar suara unta; oasis yang mulai tampak di kejauhan; juga Fatimah, Si wanita gurun penghuni oasis.
Alfath berpikir, mungkin laki-laki sejati memang harus lepas dari keluarga, berkelana, lalu membangun keluarganya sediri bersama "Fatimahnya." Seharusnya aku tidak melawatkan isyarat yang mungkin diberikan laut, hanya karena kenangan pahit, pikir Alfath. Seperti kata pemandu karavan, "makanlah saat sedang makan, dan berjalanlah saat sedang berjalan.
Narator membacakan kalimat terakhir dari bab itu. Yudha menjeda Audio-book-nya. "Kita istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan di bus. Saya mau 'cari angin' di luar. Kamu mau ikut?
"Ya, boleh," jawab Alfath.
Dari deck, lampu-lampu pelabuhan merak sudah tidak terlihat lagi. Yudha dan Alfath mengeluarkan rokoknya masing-masing. "Mari kita tangkap bahasa Jiwa Universal," Yudha bergurau.