Aku menarik salah satu novel dari rak buku di kamarku. Sebuah novel yang telah mengubah dunia. Membebaskan para pribumi dari kejahatan kolonialisme. Buku ini sempat fenomenal pada zamannya. Bahkan, menjadi bacaan wajib bagi setiap pelajar tingkat menengah di Belanda hingga hari ini, diiringi dengan tugas untuk menganalisanya, seperti yang hendak kulakukan malam ini di depan mesin ketik ayahku.
Tapi aku merasa memiliki kewajiban untuk menuliskan pengalamanku, karena penulis buku ini telah memberiku pelajaran berharga delapan tahun yang lalu, dan akan aku ingat seumur hidup.
Mungkin catatan ini akan kuselipkan di antara lembar kerjaku nanti. Supaya orang lain juga bisa membacanya. Aku rasa, tidak akan jadi masalah jika Droogstoppel Junior juga membacanya. Toh, dia sudah menjadi teman karibku sekarang.
Namaku Liam Murphy. Aku tinggal di Lauriergracht, No. 41, kota Amsterdam. Waktu itu, seperti anak-anak pada umumnya, aku ingin cepat dewasa, tumbuh menjadi laki-laki pemberani seperti para bajak laut. Tidak ada yang berani menjahili para bajak laut, apalagi Si Droogstoppel junior.
Sabtu pagi. Hari itu adalah ulang tahunku yang keenam. Aku menunggu Ayah pulang dari gereja. Beberapa hari sebelumnya, dia berjanji memberiku hadiah ulang tahun. Kata Ibu, sebentar lagi Ayah pulang. Aku menunggu sambil membolak-balik halaman buku cerita bajak laut yang dibacakan Ibu semalam. Aku lihat lagi gambar-gambar kapal besar di tengah lautan.
Setelah melihat beberapa gambar, aku turun dari sofa dan berlari ke meja kerja Ayah, menaiki bangku, lalu mengambil selembar kertas kosong dari meja. Kulipat-lipat kertas itu, berusaha membuat perahu kertas seperti yang pernah diajarkan Ibu. Aku berusaha mengingat tahap demi tahap. Kalau tidak salah, setelah ini, begini, lalu begini. Kubongkar lagi lipatannya dan memulai dari tahap awal. Setelah beberapa kali mengulang, tetap gagal.
"Kau ingin kubuatkan perahu kertas?", tanya Ibu.
Aku mengangguk.
Ibu mengambil kertas itu dariku, "Wah, kau gigih sekali, Liam. Sampai-sampai kertasnya tidak bisa digunakan lagi. Tak apa. Ayah masih punya banyak kertas." Ibu mengambil selembar lagi dari meja kerja, lalu mulai melipat-lipat kertas. Aku memperhatikan setiap lipatan, berusaha mengingat tahap demi tahap, tapi tangan Ibu bergerak terlalu cepat. Aku menyerah.
Ibu terkekeh "Lain kali Ibu ajarkan lagi, ya. Ibu tidak punya banyak waktu. Harus segera menyiapkan makan siang."
Perahu kertas sudah selesai dibuat dan siap berlayar. Aku meminta izin kepada Ibu apakah aku boleh bermain perahu kertas di tepi kanal Laurel di depan rumah, Ibu mengizinkan.
Sebelum aku sempat keluar rumah, Ayah tiba. Dia membawa sebuah kotak kado yang dibungkus rapi dengan kertas. Aku menyambutnya sambil melompat-lompat.
"Kenapa lama sekali, sayang?", tanya Ibu kepada Ayah.
"Aku bertemu tuan Droogstoppel di jalan," jawab Ayah.
Air muka Ibu berubah masam.
"Tuan Droogstoppel bilang, anaknya tidak mungkin mengambil itu dari Liam, karena milik anaknya jauh lebih bagus dan mereka mampu membeli sebanyak yang mereka inginkan. Sudahlah, sayang, ini hari ulang tahun Liam. Kita lupakan dulu persoalan itu." Ayah memberikan kado itu kepadaku. "Selamat ulang tahun yang ke enam, Liam, ini kado dari Ayah dan Ibu," ucapnya. Ibu juga mengucapkan selamat ulang tahun, lalu mereka bergantian mengecup pipiku.
Aku menerima kado dari mereka. Kotak kado itu ringan. Terdapat kartu ucapan di salah satu sisinya, ditempel dengan lem yang masih basah. Aku penasaran dengan isinya. Kotak kado itu kukocok. Sangat ringan. Aku sempat menduga isinya boneka.
"Buka saja, nak!", kata Ayah, "Sini, Ayah bantu." Dugaanku salah. Ternyata isinya topi bajak laut berwarna cokelat. Aku langsung memakainya dan buru-buru bercermin. Aku menyukai topi itu karena dengan memakainya, aku tampak seperti seorang kapten kapal yang siap mengarungi lautan.
Kuambil perahu kertas buatan Ibu, lalu pergi ke tepi kanal Laurel di depan rumah dengan topi baruku. Aku melarungkan perahu kertasku di permukaan air kanal, di antara beberapa perahu sungguhan yang tertambat. Aku duduk di tepi Lauriergracht yang sepi, menyaksikan perahu kecilku berlayar perlahan di kanal yang tenang.
Tiba-tiba seseorang merampas topiku dari belakang. Aku menoleh. Rupanya Droogstoppel Junior, "Wah, si Murphy kecil punya topi baru," katanya. Dia anak tuan Droogstoppel. Rumah kami berdekatan. Dia tinggal di Lauriergracht, nomor 37. Badannya agak lebih besar dan lebih tinggi dariku.
Dua pekan lalu dia merampas topi kesayanganku dan tak pernah dikembalikan. "Topimu jelek sekali. Seleramu payah," katanya. Dia melempar topi bajak lautku tepat mengenai perahu kertasku yang sedang berlayar di kanal, sehingga perahu itu tenggelam. Aku hanya bisa tetap duduk di sini dan melihatnya menjauh sambil menertawaiku.
Aku meniarapkan tubuhku di tepi kanal dan mengulurkan tangan, berusaha meraih topi cokelatku, namun topi itu masih terlalu jauh bagiku. Pelan-pelan, aku terus berusaha lebih dekat lagi untuk meraihnya.
"Sedikit lebih condong lagi ke depan, maka kau akan nyemplung," kata seseorang dari jauh. Dia mendekat. Kali ini pria dewasa. Tubuhnya jangkung, wajahnya pucat, bermata biru. Dia mengenakan syal kotak-kotak. Padahal ini buka musim dingin. Dia berlutut di sampingku. "Cukup, nak, bukan begini caranya mempertahankan apa yang berharga bagimu," katanya, lalu dengan mudah meraih topiku.
Aku berdiri.
Dia menyerahkan topi yang separuh basah itu kepadaku. Tangannya kecokelatan, Jemarinya kurus dan panjang. "Orang-orang seperti anak makelar kopi itu akan selalu ada, dan kau akan terus-terusan kehilangan topi dan perahu kertasmu jika kau hanya diam," katanya. Ternyata dia menyaksikan peristiwa tadi.
"Bedankt." Terima kasih. Aku menerima topiku.
Pria itu melihat ke sekeliling seperti takut ada yang mengawasi, lalu menatapku lagi dan berkata, "kau tahu apa yang akan dilakukan bajak laut ketika kalah dalam pertempuran dan kapalnya hancur?"
Aku menggeleng.
"Mereka akan kembali menantang lawannya, tidak dengan sebuah kapal." Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku, lalu berbisik. "Dengan satu armada."
Badanku gemetar membayangkan satu armada bajak laut yang siap bertempur.
"Sore nanti, pukul empat tepat, temui aku di gang itu." Pria itu menunjuk bibir gang tempat kemunculannya tadi. "Jangan lupa bawa kertas setebal panjang kelingkingmu. Kau buatlah perahu sebanyak mungkin di rumah, sementara aku juga membuat perahu yang banyak untuk armada bantuan jika diperlukan. Lalu besok, di jam yang sama, berlayarlah dengan sebuah perahu kertas untuk memancing Droogstoppel Junior kemari."
Dia berpikir sejenak, lalu berkata, "satu hal lagi, jangan beri tahu orangtuamu soal kertas yang kuminta. Sekarang, aku harus pergi. Sampai nanti, Kapten." Pria itu melambaikan tangannya, lalu pergi.
Saat makan malam, aku menceritakan peristiwa tadi kepada Ayah dan Ibu, kecuali soal setumpuk kertas setebal panjang kelingking yang kuberikan kepada pria itu sore tadi.
"Diakah si Sjaalman yang sering dibicarakan tuan Droogstoppel beberapa hari terakhir ini, sayang?", tanya Ibu kepada Ayah.
"Kalau dari cirinya, sepertinya memang dia," jawab Ayah, "Dengar-dengar, orang ini baru pulang dari Hindia Belanda. Di sana dia menentang pemerintah Hindia-Belanda dan membela pribumi. Karena itulah dia dipulangkan ke Amsterdam."
"Semoga Tuhan memberkatinya. Tapi kenapa dia membiarkan Droogstoppel Junior melempar topi Liam ke kanal?"
Ayah memandangiku, "Mungkin dia ingin Liam membela dirinya terlebih dahulu."
Setelah makan malam, aku meminta bantuan ibu untuk membuat perahu kertas yang banyak. Ketika Ibu bertanya untuk apa, kujawab, "supaya besok, lusa dan seterusnya, ibu bisa fokus mengerjakan hal lain."
Keesokan harinya, seperti kemarin, aku melarungkan sebuah perahu kertas. Tapi kali ini, aku tidak memperhatikan perahunya. Aku menatap ke arah rumah Droogstoppel.
Tak lama berselang, Droogstoppel Junior keluar dari rumahnya. Setelah melihatku, dia berlari menghampiriku. "Kau ini tidak kapok-kapok, ya," katanya. Dia memungut sebuah kerikil di tepi kanal, lalu melemparkannya ke perahu kertasku. Meleset. Perahuku terguncang-guncang seperti kapal yang diterjang ombak. Droogstoppel Junior melemparinya lagi dengan kerikil. Kali ini tepat sasaran. Perahuku tenggelam seketika.
Aku bergegas lari ke rumah, lalu kembali ke tepi kanal membawa dua keranjang buah yang penuh dengan perahu kertas, lengkap dengan topi bajak laut di kepalaku. Aku siap bertempur. Drogstoppel Junior tampak heran. Dengan cepat, aku melarungkan perahu-perahuku satu per satu hingga membentuk sebuah armada. Droogstoppel menggunakan topinya untuk mengumpulkan kerikil, lalu melancarkan serangannya lagi ke armadaku, sementara aku terus mengirim kapal-kapalku satu per satu ke medan tempur untuk menggantikan yang gugur.
Berkali-kali, cipratan air akibat lemparan Droogstoppel mengenai wajahku. Aku tertawa. Ternyata bermain perahu kertas di kanal dengan cara ini jauh lebih seru. Droogstoppel juga tampak tertantang dan menikmati pertempuran.
Semakin lama, lemparan Droogstoppel melemah. Sepertinya dia mulai kelelahan. Tapi pasukan kapalku juga hampir habis berguguran. Setelah beberapa lemparan yang lemah itu, kapalku di kanal tinggal tersisa satu.
Droogstoppel tertawa dengan napas yang terengah. "Setelah yang satu ini karam, apa yang akan kau lakukan, Wahai bajak laut?," tanya Droogstoppel. "Apakah kau akan berenang menggantikan perahu terakhirmu ini?"
"Sepertinya kau harus pulang dan belajar berhitung, Droogstoppel," jawabku. "lihatlah di belakangmu!"
Droogstoppel menoleh ke belakang, lalu mundur dan ternganga melihat puluhan perahu kertas yang baru saja selesai dilarungkan Tuan Sjaalman. Tuan Sjaalman berdiri tenang dengan tangan dimasukkan ke saku mantel. Dia masih mengenakan syal yang sama seperti kemarin.
"Ah, kau curang!," teriak Droogstoppel lalu berlari menuju rumahnya.
Tuan Sjaalman mendekatiku, lalu berlutut menepuk bahuku. "Kita menang, Kapten! Kanal ini milikmu sekarang." dia berdiri, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Delapan tahun berlalu. Dalam kelas sastra di sekolah, kami diberi PR untuk membaca sebuah novel yang berjudul Max Havelaar sebagai bahan studi. Novel yang mendunia karena mampu mengusik kolonialisme, karya Multatuli.
Multatuli. Nama pena dari seorang Belanda yang bekerja di salah satu keresidenan Hindia-Belanda. dialah yang menentang pemerintah di sana atas ketidak-adilan yang mereka lakukan terhadap pribumi. Dialah yang kemudian dipulangkan ke Amsterdam dan, dalam masa-masa sulitnya, dia masih tetap membebaskan orang lain dari ketidak-berdayaan. Membantu seorang bocah di Lauriergracht meraih kemenangan pertamanya dan tidak pernah kehilangan topi dan perahu kertasnya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H