Droogstoppel tertawa dengan napas yang terengah. "Setelah yang satu ini karam, apa yang akan kau lakukan, Wahai bajak laut?," tanya Droogstoppel. "Apakah kau akan berenang menggantikan perahu terakhirmu ini?"
"Sepertinya kau harus pulang dan belajar berhitung, Droogstoppel," jawabku. "lihatlah di belakangmu!"
Droogstoppel menoleh ke belakang, lalu mundur dan ternganga melihat puluhan perahu kertas yang baru saja selesai dilarungkan Tuan Sjaalman. Tuan Sjaalman berdiri tenang dengan tangan dimasukkan ke saku mantel. Dia masih mengenakan syal yang sama seperti kemarin.
"Ah, kau curang!," teriak Droogstoppel lalu berlari menuju rumahnya.
Tuan Sjaalman mendekatiku, lalu berlutut menepuk bahuku. "Kita menang, Kapten! Kanal ini milikmu sekarang." dia berdiri, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Delapan tahun berlalu. Dalam kelas sastra di sekolah, kami diberi PR untuk membaca sebuah novel yang berjudul Max Havelaar sebagai bahan studi. Novel yang mendunia karena mampu mengusik kolonialisme, karya Multatuli.
Multatuli. Nama pena dari seorang Belanda yang bekerja di salah satu keresidenan Hindia-Belanda. dialah yang menentang pemerintah di sana atas ketidak-adilan yang mereka lakukan terhadap pribumi. Dialah yang kemudian dipulangkan ke Amsterdam dan, dalam masa-masa sulitnya, dia masih tetap membebaskan orang lain dari ketidak-berdayaan. Membantu seorang bocah di Lauriergracht meraih kemenangan pertamanya dan tidak pernah kehilangan topi dan perahu kertasnya lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI